Monday, April 7, 2008

Efek Rumah Kaca - S/T (2007)



Kalau membahas Efek Rumah Kaca (ERK), saya teringat pembicaraan dengan Wahyu, vokalis MLV. Apa hubungannya? Begini, ketika membahas soal mixing, sang vokalis ingin sekali Vanco, yang menjadi audio engineer album Efek Rumah Kaca, mengurusi departemen sound album perdana MLV. Tetapi berhubung si audio engineer udah full-booked entah sampai kapan, niat MLV untuk memakai jasa Vanco diurungkan.
Saya tidak heran kenapa mereka sampai bela-belain berniat memakai Vanco sebagai audio engineer mereka, kualitas rekamannya yahud!

Efek Rumah Kaca merupakan salah satu dari rekaman Indonesia yang punya kualitas sound terbaik. Hal ini cukup jarang mengingat kebiasaan kuping lokal yang sudah cukup diberi musik dengan kualitas 128 kbps mp3 bajakan, sehingga dengan mixing seadanya dirasa cukup.
Hal ini dapat dimaklumi karena kualitas audio engineer yang bagus masih cukup langka.
Bagi band-band mapan, mixing dan mastering di luar negeri yang sudah terjamin kualitasnya tidak menjadi masalah, tapi buat band-band baru? Tidak jarang mereka mencoba mixing dan mastering sendiri karena keterbatasan sumber daya dan biaya walau hasilnya jauh dari memuaskan.


Anyway, di album ini, ERK turut bertanggungjawab menyebarkan virus galau (saya lebih suka menyebut musik ini kontemplatif) ke berbagai penjuru Indonesia. Untung saja sebagian besar tema lirik di album ini tidak membuat para pendengarnya jatuh lebih dalam ke situasi suicidal-depressive seperti yang jamak terjadi di genre ini, tetapi membuat kita lebih aware dengan isu-isu mutakhir di sekeliling kita.

Penulisan semua lirik dengan bahasa Indonesia menambah kecintaan saya terhadap band ini, mungkin di dalam beberapa track ada kalimat yang terdengar terlalu puitis atau sedikit janggal, tetapi hal tersebut bisa dimaafkan. Ini merupakan kemajuan buat musik Indonesia yang selalu menghadirkan alasan klise band-band yang berniat go international dengan menulis lirik bahasa Inggris agar bisa dimengerti orang-orang di belahan dunia lain, atau hanya karena malas belajar mengungkapkan perasaan lewat bahasa ibu kita (jumlah kosa kata bahasa Indonesia memang kalah jauh dari bahasa Inggris, tapi itu bukan alasan).

Apabila menyimak Rendra, GM, atau Pram, Anda pasti mengerti bahwa dengan segala keterbatasannya, bahasa kita sendiri bisa mencapai tingkatan artistik yang tinggi.


Tema lirik pada album Efek Rumah Kaca merentang mulai dari sindiran terhadap RUU anti pornografi di "Jalang", homoseksualitas di "Bukan Lawan Jenis", HAM pada track "Di Udara" yang didedikasikan kepada alm. Munir, kritik terhadap konsumerisme di "Belanja Terus Sampai Mati", sinisme terhadap kecenderungan musik pop Indonesia yang mendayu-dayu di "Cinta Melulu" dan tema lingkungan di "Efek Rumah Kaca".
Sisanya adalah self contemplating track dengan komposisi yang mencerminkan kematangan bermusik para personil ERK, range vokal Cholil yang bermain-main di ranah falsetto dilewati dengan mulus nyaris tanpa cacat.

Komposisi terbaik ERK menurut saya adalah "Insomnia" dan "Debu-Debu Berterbangan", komposisi favorit saya adalah "Desember", sedangkan penulisan lirik favorit saya adalah "Jatuh Cinta itu Biasa Saja" yang menggambarkan sebuah proses menjalin hubungan dengan logis dan sehat (kabarnya terinspirasi dari perjalanan cinta orangtua mereka sendiri yang langgeng).

Beginilah seharusnya sebuah rekaman musik dibuat: Komposisi dan aransemen yang matang, penguasaan instrumen dan vokal yang efektif, kualitas sound yang memanjakan indera pendengaran dan artwork yang representatif.

ERK, kalian layak mendapatkan pujian dari saya, orang yang paling pelit memuji untuk soal kualitas rekaman band lokal.


The Changcuters - Mencoba Sukses Kembali (2008)



Bayangkan sebuah band dengan tata bahasa supir jalur pantura, attitude serta skill dan aksi panggung rock n' roll eksplosif, pengucapan lirik dengan aksen bule kampung dan selera humor yang norak tetapi terdengar keren sekaligus menggelikan. Sudah dibayangkan? Nah...seperti itulah The Changcuters di debut album major label mereka di awal tahun ini, Mencoba Sukses Kembali.

Untuk sebuah band yang menamakan manajemen mereka dengan The Me Is 3 Management, saya pasti tidak akan menganggap mereka secara serius, KECUALI kalau sudah mendengar musiknya.

Sungguh susah menemukan band-band Indonesia saat ini dengan sebutan band rock tanpa berpikir lebih panjang. The Changcuters dengan segala attitude-nya yang overpede dan rada norak adalah salah satu band tersebut.


Saya memberi nilai tambah pada banci-banci tampil dari Bandung ini karena lirik-lirik mereka yang santai mengajak Anda agar selalu eksis dimanapun, kapanpun dan dalam kondisi apapun. Hidup cuma sekali kok dibikin terlalu serius, mungkin begitu di dalam pikiran mereka yang agak sedikit terganggu simpul-simpul syarafnya. Kenapa saya bilang terganggu? Yah, mungkin cuma sedikit band yang bisa mempertahankan kewarasannya dalam mengadaptasi gaya permainan khas garage rock, hard rock dan Blues ke dalam interpretasi mereka sendiri yang sudah rusak oleh kamus bahasa ngawur dari supir metromini dan truk sembako tanpa jatuh ke dalam kategori band lawak atau band badut-badutan.

Album ini dihiasi lirik dan semangat dangdut rock n' roll yang norak tetapi paten di "Racun Dunia"; tingkat pede kritis tak tertolong di "Pria Idaman Wanita"; berburu perawan pada akhir pekan di track "Gila-Gilaan";
lirik kampungan pol-polan di "I Love U Bibeh"; seperti belum puas juga, mereka memparodikan Benyamin S. dan Ida Royani tanpa ampun di "Dang Ding Dong" dengan ending tak terduga.

Akhirnya.... ada lagi band lokal yang layak saya review di blog yang sangat diskriminatif terhadap rekaman-rekaman dari Indonesia ini.