Sunday, June 17, 2007

Andrew Bird: Armchair Apocrypha (2007)



Andrew Bird adalah musisi dengan kombinasi mematikan: penulis-penyanyi dan multi-instrumentalis.
Buat orang selevel Andrew Bird, stereotip yang muncul adalah musisi dengan musik avant-garde yang tidak nyaman di kuping. Tapi Armchair Apocrypha menghancurkan hipotesis tadi. Album ini luar biasa nyaman, pintar, sangat berwarna, kaya akan bunyi instrumen, mulai dari akustik, elektrik, eksotik, klasik hingga organik seperti suara siulan yang rapuh tetapi indah.

Cara bernyanyi Andrew Bird yang semi-droning di beberapa track mengingatkan gue akan salah satu indie darling Zach Condon, jangan-jangan Zach mengidolakan Andrew?
Tidak seperti musik 3 kord "anti-kemapanan" yang satu album terdengar sama dan membosankan,
Armchair Apocrypha secara mengejutkan punya track yang benar-benar beda satu sama lain walaupun ada benang merahnya. Penulisan liriknya adalah salah satu yang terbaik yang pernah gue baca. Simak sepenggal lirik Armchairs:

I dreamed you were a cosmonaut
of the space between our chairs

And i was a cartographer
of the tangles in your hair

I sighed a song that silence brings
It’s the one that everybody knows
Oh everybody knows

The song that silence sings
nd this was how it goes...


Punya reputasi sebagai seorang musisi bunglon,
Andrew Bird menghadirkan Armchair Apocrypha sebagai contoh konkrit. Mulai dari balada cerdik di Plasticities, sound U2 era Joshua Tree di Dark Matter, hingga sedikit tetesan The Postal Service di Simple X sebagai ajang pembuktian kalo siulan juga punya efek ganda seperti MsG pada makanan, The Supine --salah satu interlude paling sadis yang pernah gue denger-- muncul secara mengagetkan seperti musik cut-scene dalam game RPG atau score music sebuah film. Sadis..

Andrew Bird bukan musisi kemarin sore, walaupun dicap bunglon, dia tidak mengikuti tren atau mengikuti pattern musik tertentu secara gamblang. Gue bahkan bingung mendefinisikan album ini ke genre mana, apakah folk, indie-pop, indie-folk, balada, rock, atau....ahh...sudahlah, yang penting berkualitas, klasifikasi jadi gak penting disini.

Buat gue, beginilah seharusnya seorang musisi tulen membuat album.

Kesimpulannya? Armchair Apocrypha adalah album subliminal dari seorang musisi cerdas yang akan membuat orang tanpa beban mencintai album ini dengan sepenuh hati. Hakul yakin...


Saturday, June 9, 2007

Feist - The Reminder (2007)



Gue bener-bener kaget ketika My Moon My Man diputar di salah satu radio swasta Ibukota yang gue anggap punya playlist paling membosankan dalam sepanjang sejarah gue ngedenger radio. Salah satu trademarknya yang paling "berkesan" adalah memutar single Evanescence "Call Me When You're Sober" yang membosankan itu puluhan kali sehari. Gue pun bertanya-tanya siapa gerangan music director dari radio tersebut mengingat pilihan playlistnya selama ini mengecewakan.

Anyway...back to business.
Mungkin gue kurang memperhitungkan Feist kalo sebelumnya dia gak punya kontribusi yang cukup besar di Broken Social Scene --band indie Kanada yang brilian tapi masih kalah popularitas dibanding Arcade Fire-- atau menghasilkan Mushaboom yang fenomenal dua tahun lalu. Album ketiga Nona manis ini dibuka perlahan-lahan oleh So Sorry dengan ciri khas vokalnya yang meliuk-liuk indah dan mulus, membekas di kepala dengan lembut.
My Moon My Man dengan nada piano upbeat plus aransemen cemerlang bakal terasa lebih sempurna kalo udah liat video clip yang disutradarai Patrick Daughters dengan koreografi sederhana tapi luar biasa menawan. Coba cek disini, dan jangan lupa untuk mendownload video clip 1234 yang berwarna warni nan rupawan dengan koreografi yang tidak kalah menarik.

Feist sekarang cenderung memikirkan sisi komersial melihat pilihan single yang dilepas seperti 1234 dan My Moon My Man. Komersial dalam artian positif. Meracuni publik mainstream dengan Feist jauh lebih sehat daripada dicekoki album-album idol manapun.
Tapi itu hanya puncak gunung es, para penggemar setia nona Feist gue rasa bakal puas dengan penulisan lagu dan pemilihan instrumen yang variatif (ada harpa di dua track terakhir!!).
I Feel it All dan Past in Present sangat menghibur, mengingatkan gue akan masa kejayaan Nona Feist di Broken Social Scene. Sea Lion Woman yang kreatif tak terduga justru dibuka oleh backing vocal yang terdengar sumbang, sebuah penulisan lagu tingkat tinggi. Enak didengar dan tidak rumit.
Himne untuk alam dan cinta dipersembahkan di dua track balada minimalis The Park dan The Water, memperlihatkan kekuatan Feist dalam mengontrol vokalnya yang indah dan bertenaga.
Walaupun di Intuition Feist mengerahkan kemampuan vokalnya dengan agak berlebihan, tapi entah kenapa gue gak punya keinginan untuk menulis sebuah penilaian negatif.
Brandy Alexander yang muncul di bagian penghujung album punya kekuatan untuk menghipnotis Axl Rose jadi manis dan patuh sejinak anak ayam.
How My Heart Behaves dengan vokal tamu Eirik Glambek Bøe dari KoC menuntaskan salah satu album terbaik 2007 ini dengan perasaan haru dan bulu kuduk merinding tak terkendali.
Ahh...Nona Feist....maukah kau jadi pacarku...???


Monday, May 14, 2007

Au Revoir Simone: The Bird of Music (2007)



Perkenalkan, Au Revoir Simone, band dengan tiga personil cewek yang memegang instrumen seragam alias persis sama --keyboard-- dengan pengaturan beat lewat drum machine, sampling rhytm, melodi, vokal, juga dengan tambahan harmoni menghasilkan tekstur unik walaupun artifisial. Pertama kali mendengar album The Bird of Music, secara keseluruhan gue gak nemuin kontras yang cukup ngebawa satu komposisi ke sebuah klimaks total. Tapi perlahan-lahan gue mulai sadar, gak harus ngebuat kontras yang tegas kalo mereka udah ngebawa komposisi synth-pop yang bervariasi dengan manis dan mulus walaupun di beberapa track terdengar terlalu manis.

Keseluruhan komposisi yang ditulis ketiga cewek manis asal Brooklyn ini cenderung melankolis seperti di The Lucky One. Tetapi Erika, Annie dan Heather mengeksplor sound yang cukup beragam mulai dari christmas anthem yang cantik di Fallen Snow,
lalu Sad song yang merupakan antitesis judul galau dengan beat-beat ringan dan aksen melodi yang ceria, juga nomor eksperimental yang dibawakan dengan sedikit "gagap" tapi jujur di I Couldn't Sleep, hingga eksplorasi teenage pop di Dark Halls dan pengaruh new wave di Night Majestic.
Lagu pamungkas di The Bird of Music tentu saja A Violent Yet Flammable World, balada lembut menghanyutkan. Seperti mendengarkan nyanyian tiga malaikat cantik di dalam mimpi indah yang gak pernah selesai.

Au Revoir Simone memilih bermain aman, bahkan track paling eksperimental mereka pun masih terdengar terlalu enteng dan manis di pendengaran gue (setidaknya buat sepasang kuping yang pernah dihajar "Close to the Edge"). Walaupun bukan tipikal album yang bakal gue denger berulang-ulang, tapi setidaknya satu atau dua track dari The Bird of Music cocok buat ngelepas stress, mengendurkan pikiran yang udah tegang, atau sebagai lagu pengantar mimpi indah di negeri impian. Tidak lebih.


Sunday, April 29, 2007

THE S.I.G.I.T. - Visible Idea of Perfection (2006)



Dengan sedikit kesabaran dan keberuntungan, akhirnya gue bisa dapet album baru THE S.I.G.I.T.
Not just ordinary album, but it's an AUTOGRAPHED album!!!
Mereka cukup lihai membawakan musik yang berusia tiga dekade tanpa terjebak kepada nostalgia atau hanya sekadar membawakan lagu cover band-band legendaris di kafe-kafe penuh dengan pria setengah baya yang ingin kembali rock and roll sambil mengenang masa muda mereka bersama teman-teman seumuran dengan perut yang sudah membuncit.

Hal pertama yang gue lakuin pas album mereka ada di tangan bukan langsung ngedengerin, tapi gue baca dulu lirik-liriknya dan gue cukup terkesan dengan New Generation:

we are the noodle generation
our foods are made of preservation
we don't need your education
things not set in proportion

we are the hooker generation

we don't need your education

i only count on my intuition

things are going malfunction

Puisi berima yang keren dan lugas. Things you don't get from Indonesian rock band everytime.

Semua lirik ditulis dengan bahasa Inggris plus pronunciation yang mendekati sempurna.
Hal seperti ini gak bakal terjadi kalo mereka di major label yang memang mengharuskan lirik berbahasa Indonesia. Beberapa track dari EP mereka di tahun 2004 dimasukkan lagi di album ini, termasuk track heboh Soul Sister tentang pelacur yang punya riff mirip Pyramid dari Wolfmother. Well...sebaiknya hal ini gak usah terlalu dibesarkan karena pola riff di Soul Sister cukup umum. Penulisan liriknya juga membuktikan kalo THE S.I.G.I.T. punya selera black humor yang lumayan:

dunno what to do
when she's sittng there alone with you
dunno what she is
is she HE or is she SHE


Ada Horse yang bercerita tentang "tunggangan" dengan lirik nakal seperti Trampled Underfoot-nya Zep. Bedanya kalo Trampled Underfoot dinyanyiin secara seksi, Horse lebih cocok buat ber-headbanging ringan. Ada juga track berkarakter balada biar pendengar gak bosen di All the Time yang berbicara tentang sebuah hubungan:

i wanna live forever
i'm the oak tree
forever scare the stranger
i wanna grow my hairs
and nails all of my life
i want you do change your last name
and be my wife

Track akustik Live in New York di pertengahan album membawa ingatan gue kembali ke masa ABG pas album GN'R Lies pertama kali gue denger di penghujung tahun 80-an.
THE S.I.G.I.T. lulus "ujian" sebagai sebuah rock band dengan memuaskan di track terakhir, Provocateur, yang merupakan versi lain Black Amplifier dengan aransemen beda agar lebih "jinak".

Vokal Rekti mungkin gak bisa berakrobat seperti Robert Plant dan Andrew Stockdale, tapi sang vokalis punya gen seorang rock star sehingga lagu-lagu yang dibawakan benar-benar mencerminkan atmosfir rock n' roll terutama di Horse dan Clove Doper.

Sama seperti rilisan Fastforward lainnya seperti "Elora" dari Pure Saturday, album ini punya sedikit kekurangan: mixing. Mungkin maksud sang sound engineering ingin mengedepankan sound dua gitar di band yang memang punya riff-riff dahsyat ini, tapi justru sound drum di beberapa lagu seperti timbul tenggelam. Buat yang belum terbiasa mendengarkan classic rock dalam dosis tinggi, "efek samping" dari mixing di album ini akan membuat kuping cepat lelah.

Dari segi artwork dan packaging, album Visible Idea of Perfection cukup royal setidaknya kalo dibandingin dengan rilisan CD label lain. Album ini dipresentasikan dengan CD case hitam eksklusif, cover art oil painting bertema retrospektif, fotografi hitam putih yang memberikan kesan klasik dan box CD dengan finishing spot UV bertuliskan kepanjangan akronim THE S.I.G.I.T. dan judul album.

Walaupun album ini sempat dianggap terlambat dari kebangkitan garage rock di permulaan abad ke-21, tapi menurut gue kalo musiknya bagus...ya bagus aja.
Band lain boleh mencap diri mereka sebagai yang pertama di garage rock revival ini, tapi itu gak lantas membuktikan kalo mereka yang terbaik.
Mungkin disini pujian gue terlalu berlebihan, tapi gue rasa itu wajar dari seseorang yang haus akan racun classic rock dari band yang membawakan lagu-lagu sendiri dengan lebih segar dan yang lebih penting...100% asli Indonesia.
Long Live Rock n' Roll!!!!


Tuesday, April 24, 2007

Souls Vibrating in the Universe: All These Worlds are Yours (2005)



Souls Vibrating in the Universe mulai bereksperimen dan bereksplorasi lewat instrumen baru dan sound yang lebih segar.
Walaupun penambahan cello sebagai instrumen tambahan turut memperkaya musik mereka, tetapi "efek samping" dari penambahan ini seperti yang terdengar di sebagian besar track di All These Worlds are Yours adalah semakin muramnya suasana di ruangan manapun album ini didengar.

Feel dari lembut ke keras dapat terdengar jelas di Engines on yang di pertengahan lagu memasukkan kocokan gitar bergemuruh plus sonic sound yang kental.
Drums Come in merupakan perpaduan cerdas beat drum, "kebisingan" distorsi gitar, dan sayatan cello yang bisa mengiris hati paling keras sekalipun menjadi serpihan kecil.

Sebagai dua track favorit gue di pertengahan album, Stars Everywhere dan Zircon 5 memberi aksen teatrikal dan berbahaya. Sebuah ajang duet roller-coaster paling mendebarkan dan megah yang pernah disajikan salah satu band tidak dikenal yang paling keren sejagat raya ini.
Universal Will to Become mengajak imajinasi paling dalam gue bekerja secara maksimal dengan ambience yang dominan dan murung, seperti mengalami sendiri perjalanan Catherine Deane (J-Lo) dalam film The Cell: dingin, suram, absurd, kejam dan soliter tiada batas.
Setelah dibombardir oleh gelombang "keputusasaan" di Universal Will to Become, gue diajak bangkit oleh Reap Happiness yang bernuansa optimistik dan menawarkan setitik harapan, sebuah track penutup yang jenius!

All These Worlds are Yours adalah contoh bagus dan sebuah pembuktian kalo feel dalam bermusik jauh lebih penting daripada sekadar mengasah skill atau hanya ingin terlihat berbeda.


Friday, April 6, 2007

Blonde Redhead - 23 (2007)



Jatuh cinta pada pendengaran pertama! Ternyata snap judgement gue gak salah, 23 sebagai track pembuka cukup bikin gue penasaran dan ternyata track-track
berikutnya sama sekali gak mengecewakan dan sulit untuk gak jatuh cinta lagi. Istimewa!

Blonde Redhead yang tetap setia di jalur indie selama lebih dari satu dekade ini melengkapi
band "alumni" Sonic Youth favorit gue setelah Be Your Own Pet.
Di album 23, eksplorasi sound band yang beranggotakan Kazu Makino dan dua kembar Simone dan Amedeo Pace ini memenuhi kebutuhan gue akan musik indie yang fresh, berkualitas, berbobot dan yang penting....sadis.

23 merupakan album eksperimental elektronika ala Goldfrapp lengkap dengan sound synth yang menyerang dari sana-sini, petikan gitar Sonic Youth beserta elemen dark & mellownya Mono (inget one-hit wonder band ini dengan single-nya "Life in Mono" di tahun 96? naah...kayak gitu).
Kalo mendengar beberapa album sebelum ini, maka 23 merupakan penyempurnaan sound dari Misery is a Butterfly yang menandakan era mellow Blonde Redhead setelah bertahun-tahun bermain di genre art rock walaupun tidak "separah" Deerhoof.
Untuk band yang udah tergolong karatan di dunia indie, maka sebuah album yang diproduseri sendiri udah merupakan hal wajar dan hasilnya emang gak main-main, sebuah album of the year versi gue.

Gue mau highlight beberapa track yang cukup mewakili keseluruhan album.
Blonde Redhead mulai meningkatkan level tekstur musik mereka dan harmoni secara dramatis walaupun gak terlalu ekstrim.
Contohnya di track kedua yang juga favorit gue --Dr. Strangeluv, seakan kita lagi diajari bagaimana memanage sound yang berlimpah dengan efektif sehingga jadi musik yang unik, acceptable tanpa perlu jadi aneh. Flow musiknya cukup halus sehingga gue dengan santai bisa nikmatin musik berbobot tanpa harus banyak meres otak kayak dengerin The Mars Volta atau Marnie Stern.
Atmosfir dreamspace-nya agak menghipnotis diselingi hentakan beat bass drum yang kenceng di The Dress dan Silently seperti band-band bergenre dance dan elektronika.

SW melengkapi tradisi olah vokal mereka yang tidak diambil alih seluruhnya oleh Kazu, tapi oleh Amedeo dengan vokal ganjil dan suram tapi keren.
Temen gue sempet ngebandingin mereka dengan Interpol. Kalo denger keseluruhan sih enggak, tapi kalo denger Spring and by Summer Fall lo bakal dengerin persamaannya, serupa tapi tak sama.
Temponya mirip, moodnya yang gloomy & dark mirip, tapi tenang....kita sedang mendengarkan track dari melody and harmony master. Soundnya lebih berwarna, transendental, dan magis...wuih...

Silently diaransemen agar didominasi vokal Kazu untuk membentuk harmoni dengan penempatan melodi yang cantik. Muncul perasaan aneh seperti kegembiraan yang menyakitkan ketika Kazu menyanyikan "The clock is ticking tick tack, tick, tack..." Nadanya sedikit riang tapi atmosfirnya galau, gimana dong?
Track "kuda hitam" di album 23 adalah Top Ranking yang dimulai dengan agak "canggung" tapi punya reff yang bisa bikin berdisko, tentunya disko galau. Joget-joget tapi pasang muka sedih, hahahahah....
Impure Hair adalah track penutup dalam artian sebenernya. Lagu paling slow, paling mellow tanpa ampun. Sebuah lullaby buat para pendengar album mereka yang selalu galau tapi mencoba untuk tetap optimis.

Coba test drive kuping lo semua di: http://www.blonderedhead23.com/


Sunday, March 25, 2007

The Pipettes: We Are The Pipettes (2006)



The Pipettes membuat sebuah formulasi musik kurang lebih sama dengan yang dipopulerkan Ramones tiga dekade lalu: tanpa basa-basi, kurang dari tiga menit, dan efektif. Ucapan "1-2-3 let's go!" di track pembuka mengingatkan gue akan sepenggal trademark dari Ramones. Sebuah kebetulan? Cuman bedanya Dee-Dee Ramone berhitung sampe 4.

Ramuan "punk" tiga cewek indie pop berpenampilan ala Twiggy dengan sack dress bermotif polkadot seperti yang gue lihat dari majalah-majalah fashion nyokap gue.
Musik yang mereka bawain berkiblat kepada pop 60-an --The Golden Oldies: harmonisasi vokal, string arrangement, dan energik. Tapi tentu saja rasa pop 60-an ini jauh berbeda dengan apa yang kita dengar empat dekade lalu. Soundnya jauh lebih modern. Walaupun band ini aslinya tujuh orang beserta band pengiring dengan sisa personil cowok --The Cassettes-- tapi yang lebih ditonjolkan adalah ketiga frontwomennya:
Becki yang berpenampilan nerd-sexylook, Gwenno the bombastic blonde, dan Rose the adorable brunette.

Biasanya gue gak begitu suka kalo ada grup vokal cewek karena kebanyakan cuma fokus di tampang. Tapi The Pipettes adalah pengecualian, mereka sangat komplit dari segi kualitas musik dan penampilan, memuaskan mata dan telinga. Mungkin ini adalah "penebusan dosa" buat Inggris setelah melahirkan era dekaden buat girl band dengan pemunculan Spice Girls.
The Pipettes berbeda karena musiknya cerdas dan cukup komersil tanpa jatuh jadi sebuah musik pop yang predictable dan kacangan.
Mereka bernyanyi dengan logat Inggris kental dan lirik-lirik nakal menyentil seperti di We Are the Pipettes:

We are the Pipettes
And we've got no regrets
If you haven't noticed yet
We're the prettiest girls you've ever met
We are the Pipettes
We will drop you in our nets
When you're crying in your bed
You'll hope we haven't finished with you yet

Secara overall track-track di album ini gak ada yang mengecewakan, bahkan ada beberapa yang menonjol dari lainnya seperti Dirty Mind yang jadi pengenal gue dengan The Pipettes lewat video klip yang gue download dari internet.
Dirty Mind adalah salah satu track The Pipettes yang sedikit lebih "modern". Becki, Gwenno, dan Rose bernyanyi dengan genit tentang cowok keren yang terlihat normal tapi punya fantasi liar.

It Hurts to See You Dance So Well mengingatkan gue akan salah satu band tahun 90-an favorit gue: Swing Out Sisters. Entah dari cara mereka bernyanyi atau dari lagu itu sendiri. Ada juga ABC yang bercerita tentang rasa penasaran terhadap cowok kutu buku:

He knows all about the movements of the planets
But he don't know how to move me
He knows about the sonic spectrum damnit
But he don't know if it's groovy

Gak lupa The Pipettes menyelipkan sebuah rest track bertempo lambat di pertengahan album, A Winters Sky. Cukup menyenangkan, gak monoton.
Track yang kental nuansa 60-an di antaranya adalah Why Did You Stay, Pull Shapes, Judy, Your Kisses Are Wasted on Me, yang paling "parah" yaitu Because It's Not Love (But It's Still A Feeling), dan satu dari dua track paling favorit gue di album ini: I Love You. Track ini punya reffrain yang sangat lovable, lirik yang sederhana tapi manis, dan selera humor yang bagus:

I've seen you try to laugh at all of my bad jokes
And I’ve cooked you seven meals six of them one on which you've choked
But it has taken me a while
To get used to this new feeling
When I woke up with a smile
Oh, I nearly started screaming

Kekaguman gue akan The Pipettes semakin bertambah setelah menyimak track favorit kedua gue di album ini, Sex, memuat harmonisasi vokal The Pipettes paling maksimal dengan durasinya yang begitu singkat (2:39 menit) tapi sangat efektif. Bercerita tentang para pria yang pikirannya selalu penuh seks, seks, dan seks:

He said we could talk about gossip we could talk about lies
He said we could talk about rumours we could do whatever i like
Then he said let's stop all the talking why not try something new
Because there's no need for any talking in what we're about to do....

Sangat catchy, terutama di bagian reff "rest your pretty head, you pretty head" dengan backing vokal riang.....
Bisa-bisa gue joget seperti John Travolta dan Uma Thurman di film Pulp Fiction.

We Are the Pipettes adalah sebuah contoh album girly penuh bobot tanpa terjebak kepada tipikal melankolis seperti Jessica Simpson, Mandy Moore; tipikal bitchy seperti Pink, Britney Spears, Lindsay Lohan dan Christina versi stripped; atau tipikal sok ngepunk seperti Ashlee Simpson dan Avril Lavigne. The Pipettes jauh lebih cerdas dengan melibas semua penyanyi cewek itu rata dengan tanah.

"They are Brits, they are good, they are smart, and they are The Pipettes!"

Sunday, March 18, 2007

Souls Vibrating In The Universe: The Inevitable Sadness EP (2004)



Disebut-sebut sebagai "One of The World's Greatest Unknown Band", Souls Vibrating in the Universe adalah band yang tergolong minim publikasi.
Info yang gue dapat cuma dari beberapa website yang bisa diitung dengan jari, profil myspace mereka yang gak menggembirakan beserta official website yang udah expired (well...lengkap sudah!). Rekaman musik mereka juga termasuk dalam kategori susah ditemukan apalagi The Inevitable Sadness. Walaupun rekaman ini udah cukup lawas, tapi menurut gue band ini punya potensi untuk menjadi besar sehingga review gue masih cukup relevan karena mereka kayaknya gak ngedapat penghargaan dan perhatian yang cukup atas karya mereka.

Souls Vibrating In The Universe membuat sesuatu yang berbeda dari cara penulisan lagu post-rock konvensional walaupun konotasi konvensional adalah sesuatu yang gak dikenal di scene musik ini. Post-rock termasuk genre musik eksperimental yang paling gampang dicerna sehingga mengeksplor sound band-band post-rock adalah sebuah tur sound-surfing yang paling menyenangkan.
Ciri khas elemen post-rock yang berprogresi lambat, juga tekstur musik yang tebal dan sound layer yang bertubi-tubi tetap dipertahankan, akan tetapi flow yang dinamis dari track-track yang diciptain Souls Vibrating In The Universe membuatnya gak terlalu sesurealis Sigur Rós dan gak terlalu cold and dreamy seperti Explosions In The Sky. Souls Vibrating In The Universe lebih cenderung kepada space-psychedelic sound seperti Close Encounters-nya Mogwai.

Di Inevitable Sadness, Souls Vibrating In The Universe membuat ciri khasnya sendiri yang gak lazim di dunia post-rock, yaitu porsi beat drum bergantian dengan gitar mengambil alih komando penciptaan sebuah mood pada musik mereka. Bahkan pada beberapa track, penekanan pada beat drum dilakukan untuk membuka atau menutup beberapa part di satu track.

Track pertama, Mono, dibuka dengan hentakan bass drum yang lembut dan ini adalah sebuah track yang minimalis untuk ukuran post-rock. Tapi justru keindahan musiknya gak diukur dari seberapa ambience atau sound layer yang dihasilkan, tapi lebih kepada musik itu sendiri, lebih kepada atmosfir yang dihadirkan. Untuk hal ini, Souls Vibrating In The Universe gue nilai sangat berhasil dengan segala "keterbatasan" instrumennya.

Ada satu hal yang berbeda selain ciri khas gak lazim Souls Vibrating In The Universe yang gue sebut di atas, yaitu memasukkan growl yang biasa dipakai di musik-musik hardcore dan metal seperti di track pertama dan ketiga. Agak gak lazim untuk sebuah band yang mengedepankan space sound, tapi anehnya nyambung sama mood yang diciptain perlahan-lahan sehingga gue gak kaget.
Pada track kedua, Awaré, teknik growl gak dipake. Penekanan lebih ke olah vokal normal khas post-rock yang depresif-introspektif juga beat drum yang sedikit lebih dominan. Ini merupakan salah satu daya tarik musik Souls Vibrating In The Universe dan mereka juga memberi pelajaran yang baik bagaimana mengaransemen musik secara cerdas dan efektif.

Setelah mendengarkan dengan cukup teliti, gue juga menemukan satu fakta menarik kalo mereka gak banyak nyiptain ambience sound dengan teknologi digital masa kini seperti yang udah lazim dilakukan band-band di genre ini.
Dengan instrumen yang udah memenuhi standar minimal sebuah band --gitar, bas, drum dan vokal--, mereka bisa membuat atmosfir space sound yang pekat dan gak jarang menjadi teatrikal dan megah seperti di No, sebuah track yang memprovokasi imajinasi gue secara maksimal.
Gue ngebayangin robot-robot segede gundam bertarung kolosal ala Braveheart atau Lord of The Rings di luar angkasa, penuh ledakan, pecahan logam yang tersulut api, dan banyak darah....sadis!

Musik Souls Vibrating In The Universe pada The inevitable Sadness ini cocok buat gue yang terlalu males buat ngedengerin Sigur Rós dan terlalu cemen buat dengerin musik metal.
Highly recommended!!



Sunday, March 11, 2007

Beirut - Pompeii EP (2007)



Satu lagi karya dari si anak ajaib, Zach Condon, seorang indie darling muda berbakat. Kali ini Zach melahirkan EP Pompeii yang dibuat sebelum debut album Gulag Orkestar. Track-track yang ada sangat berbeda baik dari musik, pemilihan instrumen maupun aransemen. Satu yang tidak berubah yaitu cara bernyanyi Zach yang terdengar 10 tahun lebih tua. Di Pompeii, Zach lebih banyak mengeksplorasi melodi dengan sentuhan elektronik dan tetap setia menggunakan tempo lambat.

Fountains and Tramways dibuka oleh synth, piano dan langsung menyerang dengan musik yang terdengar akrab tanpa kehilangan aura suram yang biasa diciptakan Zach. Track ini seperti gabungan antara slow pop cerdas dengan unsur jazz dosis ringan. Kalau di Gulag Orkestrar, Zach lebih memilih ukulele sebagai instrumen untuk menghasilkan sound dominan, di Pompeii Zach lebih memilih sound piano dengan porsi reverb cukup besar sehingga otomatis mengedepankan sound piano itu sendiri.

Napoleon on the Bellerophon adalah track favorit saya yang merupakan bukti kepiawaian Zach dalam mengaransemen sebuah track cerdas dengan menggabungkan unsur synth-pop dengan "lagu pemakaman" ala Zach. Vokal yang berlapis-lapis dan sahut menyahut seperti sering digunakan di Gulag Orkestar juga diterapkan disini.

Di Pompeii, Zach merangkum ambience dan nuansa pada post-rock, sentuhan jazz ringan dan sound elektronik synth-pop, walaupun tidak terlalu dominan seperti di Scenic World, tapi tetap memberikan aksen manis.


Wednesday, March 7, 2007

Beirut - Gulag Orkestar (2006)



Beirut sebagai sebuah one-man band dari Zach Condon mencoba melawan arus tren musik mainstream bahkan indie sekalipun. Tidak ada yang berani bermain di wilayah ini: Ibarat musik "pemakaman" di musim dingin diiringi nyanyian Zach, yang baru berumur 20 tahun, seperti orang yang tengah berduka dengan nada suara penuh dan gelap.

Gulag Orkestar adalah album dengan musik folk plus orkes khas Balkan yang sangat tebal dan pekat. Unsur alat musik tiup (brass) cukup dominan dan sebagian besar track di album ini tanpa lirik. Cara bernyanyi Zach mirip cara bernyanyi vokalis band-band post-rock yang bernyanyi seperti mendengung/menggumam (droning/crooning).
Banyaknya instrumen membuat musik di album ini punya banyak sekali sound layer yang membuat satu harmonisasi khas dan unik.
Di Gulag Orkestar tidak ada satupun suara gitar, alat petik yang dominan justru digantikan oleh "gitar" empat senar mungil yang kita kenal dengan nama ukulele dan sedikit tambahan mandolin.
Sound perkusi yang membuat pola repetitif justru tidak ngebosenin karena jumlah perkusi disini cukup maksimal dari segi variasi sound walaupun gak sebanyak alat musik tiup.
Yang menjadi pertanyaan saya yaitu apakah musik-musik di Gulag Orkestar bakal sebagus ini kalau dimainkan secara live? Entahlah.

Gulag Orkestar sebagai track pembuka album ini cukup berhasil mengemban suasana yang timbul akibat namanya --Gulag, sebuah metafor lewat musik akan atmosfir kamp konsentrasi terbesar di Rusia ditulis oleh seseorang yang pernah lolos dari malaikat pencabut nyawa di kamp maut tersebut --Aleksandr I. Solzhenitsyn yang di kemudian hari mendapat nobel atas hasil karyanya.

Brandenburg sedikit bernuansa riang seperti menyaksikan tarian perayaan di padang savana. Suara mandolin yang ringan, cepat, dan lincah di intro diiringi sound ukulele yang sedikit berat dan pendek hingga akhir.

Yang menarik selain track super-murung Prenzlauerberg, yaitu Mount Wroclai yang punya sound dominan akordion ditimpali vokal berlapis-lapis Zach.

Postcards from Italy sebenernya sedikit lebih "cerah" tapi cara bernyanyi Zach yang seperti orang meratap di pemakaman tetap ngebuat track ini berada di jalur "benar" --jalur kematian :)

Intro Rhineland akan terdengar sedikit mirip lagu tradisional Anglo-saxon (old English) kalau didengar tanpa adanya unsur brass. Ketukan dan suara perkusi yang muncul sangat mirip dengan tipikal lagu tradisional para leluhur bangsa Inggris itu. Bakal tambah mirip kalo Zach masukin mandolin, bukannya ukulele.

Bratislava yang nyelip di track kedelapan adalah sebuah fanfare dengan iringan marching band seperti sebuah parade pasukan perang kerajaan.

The Canals of Our City adalah track minimalis yang membuktikan kalo ukulele dengan paduan vokal pas bisa memberikan sebuah nuansa akustik mengharu biru.

Yang agak sedikit beda adalah Scenic World dan track penutup After The Curtain dengan sound synth yang manis. Gabungan sempurna antara musik folk jadul Balkan dengan citarasa musik elektronik modern.

Musik begini paling enak didengar ketika musim angin kencang dan hujan, atau kalau lagi berlibur ke tepian Laut Hitam dan Mediterania sembari singgah di Kroasia, Rumania, atau Albania.



Tuesday, February 27, 2007

Kompas 25 Februari 2007



Coba tebak gue dimana? Hayoo...
Huah...ini kalo gak salah jam 8 lewat pas pala gue mulai sedikit pening gara-gara tekanan kacamata murahan gue yang gak punya per, makanya kacamatanya gue lepas.
Wah, pas banget dibelakang Hendra tuh, one lucky bastard! hahahahah...

Kata Mojo gue norak, tapi gak papa Jo, gak ada lagi yang bisa gue banggain selain kenorak-an gue, bweheheheh....

Sunday, February 25, 2007

Muse Live in Concert, Istora Senayan, 23 Februari 2007



Yeah....setelah membeli tiket festival Muse awal Februari di Aquarius Mahakam, gue bener-bener berharap gak ada halangan berarti pas "D-Day".
Mudah-mudahan gak ada "kerjaan-harus kelar hari ini-kalo bisa lembur" dari klien yang tak terbantahkan.
Gue udah nyiapin semuanya, mulai dari apa aja yang musti dibawa dan yang terpenting persiapan stamina dengan rutin berolahraga tiap weekend (emang gue biasanya berenang sih tiap minggu).
Pas tanggal 22, gue bingung bagaimana caranya membawa digicam ke dalam gedung Istora, sedangkan kalo mo pake kamera henpon gak mungkin karena kualitasnya yang sangat memprihatinkan, ahh daripada gue nyesel mending gue bawa sekalian digicam gue.
Sempet ragu juga pas tanggal 23 antara mau gue tinggalin karena takut resiko ketauan ama ntar bakal nyesel gak dapet foto-foto Muse yang gue ambil sendiri.
Akhirnya di jam-jam terakhir gue nemuin cara fantastis luar biasa, sebuah trik ciptaan gue karena udah dalam situasi kepepet, sebuah pencapaian luar biasa dalam hal selundup-menyelundup, bahkan kalo pake skenario terburuk hahahahaha...

Jam 4, makan lontong medan buat persiapan tenaga, masukin aqua, coklat, jaket dan........tiket. Jam 4:50 ijin ama bos, jam 5 lewat naik ojek ke Istora, dan jam 5:20 ketemu Donny di antrian gate 1. Ah...aman, masih ada satu setengah jam lagi sebelon pintu dibuka.
Pas duduk, gue ngeliat Rensi ama Pisang di antrian depan, hueheheh..dunia sempit juga, apalagi kalo konser Muse.
Eh...gak taunya kira-kira jam 6, Adrie Subono keliling pake towa..dan gak lama kemudian antrian udah boleh dipersilakan masuk, mungkin juga gara-gara langit udah mendung dan antrian udah banyak.
Di antrian ternyata gue nemuin banyak orang-orang daerah yang rela datang ke Jakarta demi nonton Muse. Di belakang gue ada segerombolan anak Medan dengan logat Bataknya, di samping gue bahkan ada yang dari Malang sendirian, trus gerombolan dari Bandung. Wah, salut ama yang dari luar daerah terutama yang dari luar pulau Jawa. Ini baru penggemar musik sejati.
Para penonton festival mulai bergerak masuk. Security-nya lumayan ketat dan berlapis-lapis, meriksain satu-satu. Gue lolos tanpa cacat sambil memandang orang di samping gue ditegur karena bawa kamera yang lumayan gede (what the fuck was he thinking?).
Tiba di dalam, massa langsung bergerak ke pintu masuk ruangan konser --THE MIGHTY FESTIVAL ENTRANCE DOOR! yang ketika dibuka langsung terdengar teriakan gak sabar dan celetukan di sana-sini, terjadilah adegan dorong-mendorong klasik yang sedikit brutal. Setelah bebas dari kerumunan massa, gue langsung cabut lari sekenceng-kencengnya dan dapet di baris ke enam, YEAH!!

Alhasil, kelas festival udah dipenuhi orang-orang gila yang rela bayar lebih mahal tapi berdiri, rela desek-desekan, dateng lebih awal berjam-jam dan berlarian seperti kesetanan ketika pintu masuk dibuka.
Setelah disuruh duduk gue mratiin jam, hmm masih jam 6:20. Satu setengah jam lagi sebelon konser dimulai. Gue kenalan ama orang disamping gue --Hendra yang ternyata seorang musik freak juga. Dia bahkan ngikutin Muse ke press conference mereka di Hotel Mulia dari pagi. Damn!
Mulai aja ngobrolin tentang musik mulai dari Muse hingga The Mars Volta, tentang Jonze dan Gondry, juga tentang ramalan track list yang bakal dibawain Muse. Hendra bilang dia kepengen banget dengerin Newborn, sama ama Donny. Well gue sedikit beda, gue kepengen Hypermusic ama City of Delusion.
Waktu bergerak sedikit demi sedikit hingga jam 7, ternyata di luar udah hujan deras. Trus gue liatin kelas festival masih terisi sepertiga dan tribun masih sepi penonton. Wah gawat gue pikir! Masa konser Muse cuman dikit penontonnya? Dugaan gue bakal terbukti salah karena seperti yang pernah gue baca, Adrie Subono bilang kalo tipikal penonton Indonesia adalah last minute buyer. Mereka membeli tiket di saat-saat terakhir. Hal ini juga yang menjelaskan keheranan gue pas ngambil tiket di Aquarius tanggal 22, gue denger kabar kalo tiket tribun masih ada. Gila! di Australia aja, satu jam ticket box dibuka tiket konser udah ludes.
Yah, begitulah tipikal penonton Indonesia, last minute buyer atau yang nunggu gratisan.
Rasanya beda kalo beli pake duit lu sendiri yang dialokasiin khusus buat beli tiket ama dapet yang gratisan, lebih.....berharga. Dan sudah sewajarnya dilakuin ama orang-orang yang awalnya emang niat banget nonton.

Setelah ngobrol ngalor ngidul ama Donny dan Hendra, waktu udah jam 8 kurang dan massa di kelas festival otomatis berdiri. Tapi eh tetapi, ternyata jam 8 itu checksound yang lumayan memakan waktu lama, nyaris sejam.
Tapi ada sedikit hiburan buat penonton festival khususnya bagian depan: dapet bocoran track list dari cameraman Java, langsung aja pada ngejepret track listnya. Sialan! gue gak kebagian karena gak nyampe, tapi orang di baris depan gue dapat dan gue liatin contekannya walaupun gak bisa gue baca semuanya, hanya track-track awal. Oooh, Knights of Cydonia ama Hysteria....Langsung sadis nih kayaknya!




Tirai penutup instrumen pun dibuka dan jrengg....semuanya pada bengong-bengong ngeliatin seperangkat instrumen bawaan Muse. Ada Synth, rack berisi Macbook Pro yang gahar, keyboard, ampli bercat putih dan piano-nya Matt yang juga berwarna sama, drumnya Howard seperti yang dipakai di video clip Starlight, bahkan orang Bandung di belakang gue ampe berulang-ulang ngomong, "Keren pisan euy drumnya, bening kayak kaca, ah...edan! gitarnya ada LCD-nya, yang bisa digesek-gesek, anjrit! warna LCD-nya berubah-rubah, keren pisan!"
Gue pun senyam-senyum sendiri denger berbagai komentar tadi. Gue pandangin aja Macbook pro-nya sambil ngarep.

Checksound berjalan mendekati waktu 45 menit, paling lama itu ngetes gitar ampe bolak-balik beberapa kali karena Bang Mamat alias Matthew Bellamy dikenal cerewet soal yang satu ini.
Penonton festival yang udah padet setengahnya pun udah mulai gak sabaran dan emosi.
Setiap kali ada lagu kompilasi pengiring dari speaker yang mulai langsung pada disorakin, "huuuuuuuu........."
Kira-kira jam 9 kurang tiba-tiba lampu padam tanpa peringatan. Massa festival langsung histeris dan lautan manusia mulai mendorong ke arah depan.



Tanpa banyak basa-basi Muse langsung menggeber Knights of Cydonia. GILA! Massa semakin brutal dan gue berada di "lingkaran kematian", yaitu spot dimana semua dorongan dan desakan bermuara: di tengah area festival bagian depan. Walaupun masih sempet singalong, gue tetep waspada biar gak jatoh diombang-ambing lautan penonton festival yang kesetanan.
Bahkan ada beberapa cewek yang udah pingsan dan gue ngeliat cewek berjilbab di depan gue udah pasang muka pasrah, gak bisa nikmatin musiknya karena gencetan massa udah begitu ganas. Ya! di kelas festival berlaku hukum rimba, gak peduli lu siapa, yang paling kuatlah yang bertahan hingga konser selesai.
Sialan! gue mana bisa nikmatin musiknya kalo begini? tapi gue pantang menyerah dan Muse langsung menghajar dengan Hysteria. Massa tambah ganas dan beringas! puncak kekacauan di kelas festival telah terjadi dan gue nyaris jatuh karena udah miring 30 derajat ke samping, ANJRIT! gue pun hanya bisa pasrah karena kalo jatuh satu, bakal jatuh semua.
untungnya gue bisa tetep berdiri dan sempet singalong walaupun sebagian besar konsentrasi gue adalah bertahan hidup! hahahaha..

Di jeda lagu gue kaget ngeliat penonton tribun udah penuh, ternyata gue melihat bukti teorinya Adrie Subono. 4500 jatah tiket tribun udah mulai terisi rupanya, dan 2500 lainnya di lantai festival sedang beradu dengan maut, terutama ratusan orang yang berada di baris pertama hingga 20 termasuk gue. Ah, what the hell, let's kill someone!!
Lagu berlanjut ke Supermassive Black Hole dan kekacauan berlanjut walaupun gak separah Hysteria, tapi tetep aja kenikmatan gue berkurang karena di "lingkaran kematian", lu susah konsentrasi. Gue harus bertindak! dengan perlahan gue bergerak ke samping rada ke belakang dengan susah payah dan melewatkan beberapa lirik Supermassive Black Hole yang jadi ajang karaoke massal.
Setelah berjuang, gue dapet spot yang bagus dan gak terlalu padat. Pas setelah itu Butterfiles and Hurricanes dibawain. YEAH! sebuah mandatory live act dari Muse.
"CHANGEEEEE...EVERYTHING YOU ARE....EVERYTHING YOU WEREEEEEE!!" gue langsung pasang suara superfals gue dan teriak sejadi-jadinya. Matthew pun bawain solo piano yang berkesan, superb! sound pianonya keren.

Habis Butterflies and Hurricanes, lanjut dengan Assassin, lagu dengan drum beat semi-metal dan massa pun ber-headbanging dengan ganas.
Sehabis itu Muse memainkan track list langka, Citizen Erased. Ah sialan! gue yang baru ngikutin mereka di Absolution secara retrospektif gak terlalu familiar, apalagi album Showbiz, paling banter Origin of Symmetry dan sedikit Hullabaloo.
Tapi gue mendengar karaoke massal di bagian paling depan festival, ah ini dia segerombolan Muser sejati mulai menunjukkan diri mereka.
Disaat itu gue udah nyaris kehilangan tenaga dan sempet berpikir kalo Muse ngegeber lagu bertempo cepat lagi sehabis ini, gue bakal mampus. Ternyata Tuhan menjawab doa gue dengan membuat Matt menyanyikan Hoodoo. Lagu ini pernah gue dengerin dengan penuh penghayatan di headphone dan nyaris nangis. Lu bayangin aja kejadiannya kalo dinyanyiin secara live! Gue nyanyi bareng Matt dengan pedenya disaat orang-orang disamping gue pada diem, rasakan kalian akan suara fals gue hahahahah!



Sebenernya gue udah kebelet kencing jam 8 pas checksound dimulai, tapi setelah beberapa lagu udah gak kerasa lagi, cairannya pada keluar semua lewat keringat. Gue juga sempet mau dehidrasi pas lagu-lagu awal, tapi pas udah "panas", semuanya gak kerasa. Ajaib!
Tanpa peringatan sebelonnya, Muse langsung mengobrak-abrik emosi penonton festival saat Apocalypse Please digeber. MASSA MENGGILA! LANTAI FESTIVAL TERGUNCANG HEBAT! GUE KESURUPAN! KESETANAN! Gue bernyanyi segila dan seedan mungkin. "DECLAAAREEEEE THIS AN EMERGENCYYYYY.....!!!"
Sehabis Apocalypse Please, Matthew langsung menuju piano. Wah lagu apa nih gue pikir.
Ternyata dia ngebawain Feeling Good, lagu Nina Simone yang diaransemen ulang sehingga menghasilkan perkawinan sempurna antara soul dan rock ciri khas Muse. Alhamdulillah! lagu bertempo lambat. Gue bisa ngumpulin tenaga sambil ngejepret digicam gue karena moto-moto disaat massa menggila pas lagu bertempo cepat sangat gak mungkin.


Sehabis memainkan Feeling Good, Matt langung berujar, "This is the first song from our first album." --Sunburn. Waaah, kacau...gue gak familiar juga dengan lagu ini. Tapi gak papa, kesempatan buat moto-moto lagi gue pikir.
Sunburn kelar dan terjadilah karaoke massal paling kenceng di sepanjang konser: Starlight!
Yang bikin aneh, walaupun lagu ini udah terlalu sering dimainin di radio-radio, tetep aja kalo didengerin secara live gak bakal bosan.
Starlight usai dan terdengarlah sebuah intro melodi gitar yang sangat familiar: Plug in baby!
Gedung Istora langsung terguncang hebat, gue kesetanan sekali lagi sambil loncat dan teriak-teriak kesurupan, "MY PLUG IN BABYYYYYYYYYYY, CRUCIFIES MY ENEMIEEES..!!"

Acara kesurupan gue masih berlanjut pas Time is Running Out. GILA! gue kirain gue bakal mampus pas awal konser, ternyata ada tenaga cadangan luar biasa yang bikin gue masih bisa kemasukan arwah iblis gentayangan.
Lagu penutup adalah tracklist idaman Donny ama Hendra: Newborn.
Gue sempet pasrah Hypermusic gak dinyanyiin atau sesial mungkin City of Delusion. ternyata doa gue blon manjur pas hari Jumat itu. Kalo ampe salah satu dari kedua lagu itu dibawain, bisa-bisa gue kemasukan raja Jin dan gak bakal sadar-sadar, huehehehehe...

Panggung dimatiin dan para personil Muse berbasa-basi keluar panggung. Ah....standar, palingan juga encore.
Sound synth yang tebel dari Map of The Problematique membuka encore Muse di gedung Istora Senayan. Yeah...another familar song, gue pun tetap bernyanyi di saat sekitar gue hening, cukup bangga juga karena sangat sedikit yang singalong di lagu ini.
Setelah Map of The Problematique selesai, terjadi gempa dahsyat pas Stockholm Syndrome dibawain.
ANJRIT! GEMPA SUSULAN! BAHAYA! MENDING IKUTAN BIKIN GEMPA! SERAAAANGGG!

Muse pun membawakan Take a Bow sebagai penutup konser di Jakarta. Wah kacau! masa penutup konsernya Take a Bow? sedikit antiklimaks sih, tapi memang udah saatnya kali buat ngeredam emosi penonton yang udah beringas karena kalo mereka bawain lagu pemancing emosi lagi, massa bakal menuntut encore sampe mampus.
Lampu dinyalain dan gue nyari Donny dan Hendra yang dengan ajaibnya langsung gue temuin. Keliatan dari muka-muka penonton festival, pada puas!!! Apalagi dua anak itu, track list idaman mereka dimainin juga ama Muse. Sedangkan gue walaupun gak ada Hypermusic ama City of Delusion, gue tetep puas karena bisa gila-gilaan semampus-mampusnya.



Kelar konser, gue minum yang banyaaaaakkk. Pas perjalanan keluar area Istora sempet ketemu para personil Radja dan Donny ngobrol ama temen lamanya, si Seno. Yah setidaknya gue sempat dikenalin Donny ama salah satu artis populer Indonesia, a personnel of one million copies band in Indonesia. Very famous, heheheheheh.
Ada Once yang jadi buruan orang-orang buat foto bareng, Erwin Gutawa, dan (kalo gak salah) Audy yang jadi inceran infotainment. Sempet kepikiran untuk foto bareng Erwin Gutawa tapi pas ngeliat antriannya yang naujubilah dan kesempatan foto bedua doang gak mungkin, gue langsung cabut aja karena udah kecapekan.
Gue balik lagi ke kantor buat nginep karena untuk naik motor lagi ke rumah udah gak mungkin karena stamina gue udah melorot tajam. Alhasil gue tidur dengan telinga masih berdengung dengan style kebo mampus.
Huaahhhh, leganya.....salah satu malam terbaik gue seumur-umur dan semoga ini bukan yang terakhir. Huuaaaahm......ngantuk berat.
Good night Jakarta, good night City of Delusion!