Monday, December 15, 2008

Getting Closer to Progressive Rock

Progressive rock? Binatang macam apa pula itu? Yang jelas, ini spesies yang akan membuat kepala pusing. Entah karena kebrilianannya atau karena kerumitannya.
Ketika prog rock menjadi mainstream di era 70-an, kegilaan dimulai. Makin rumit musiknya, makin panjang durasinya, terasa semakin keren image-nya. Saking pusingnya orang-orang di pertengahan era 70an terhadap prog rock, pecahlah sebuah pemberontakan. Lahirnya sebuah revolusi bernama punk rock.

Prog rock tanpa ampun akan terus memaksa otak untuk terus menerus membuat sinapsis-sinapsis baru di otak hingga ke titik yang membuat kepala sangat tidak nyaman. Diperlukan jalur yang tidak lazim dan waktu yang tidak sedikit, terutama buat saya, untuk mengerti dan menikmati prog rock.

Sebagian besar musisi yang memberi nafas pada prog rock adalah akademisi, dan hampir semua memiliki ketertarikan kepada musik klasik. Hal demikian yang melahirkan "hipotesis" tentang latar belakang prog rock yang mengikuti pakem penulisan musik klasik: movement 1, movement 2, hingga ke finale. Prog rock adalah classic music for rock n' roll era.
Musik untuk para kutu buku yang yang terlalu banyak membaca buku-buku fiksi ilmiah dan novel fantasi, bermain Dungeons and Dragons, terlampau saleh untuk menghirup obat-obatan terlarang dan ganja, dan ngeseks bebas. Sebuah filosofi rock n' roll minus sex and drugs.

Sekarang, spesies ini jadi minoritas. Antara ada dan tiada, hidup segan mati pun tak mau. Perkembangan scene prog rock di Indonesia, walaupun lambat seperti siput terkena demam tinggi, tetap berjalan dengan melahirkan musisi-musisi prog rock muda dan berbakat. Regenerasi tetap ada, walaupun nyaris tak terdengar, bahkan dengan adanya wadah seperti IPS (Indonesian Progressive Society) sekalipun.

Salah satu faktor yang memperlambat scene ini adalah sulitnya untuk berkenalan dengan prog rock. Spesies ini, berikut penggemar fanatiknya, seakan memberi jarak kepada para calon pendengar. Kebanyakan dari gerombolan penggemar prog rock merekomendasikan album yang aneh bin ajaib kepada para calon pendengar yang berminat.
Close to The Edge dan Relayer dari Yes, The Wall dari Pink Floyd, dan 2112 dari Rush adalah sebagian kecil contoh rekomendasi mereka. Ini sama saja menyodorkan gulai itik sambel ijo kepada bayi berumur setahun.

Sebuah majalah mingguan terkemuka di Indonesia pernah mengulas album Imanissimo dan Discus dengan berbagai kalimat pujian. Mereka seakan tidak sadar (atau tidak peduli) terhadap pembaca awam yang masih asing dengan prog rock. Dua band di atas baru bisa dinikmati kalau setidaknya sudah punya "jam terbang" yang lumayan tinggi, apalagi Discus, band sinting yang jauh lebih dihormati di Eropa daripada di kandang sendiri.

Daftar yang telah tersusun rapi di empat tulisan berikutnya merupakan resolusi atas kekecewaan terhadap ketidakpedulian tersebut. Sebuah jalan praktis --walaupun tidak mudah--, menuju ke kenikmatan progressive rock. Enjoy!



Sunday, December 14, 2008

Progressive Rock Level 1: Apprentice



Yes: 90125 (1983)

Ini adalah upaya Yes untuk mengenalk
an musik mereka kepada generasi MTV di tahun 80-an. Sebuah usaha yang mesti dibayar akan kerasnya kritik terhadap album ini, walaupun menang di kategori Best Rock Instrumental Performances di ajang Grammy Awards. Sejauh apapun Yes mencoba ngepop, tapi kejeniusan Jon Anderson dan kawan-kawan masih meninggalkan jejak-jejak yang pernah membuat Yes menjadi ikon prog rock di masa lampau.

--------------------------------------------------------------------------------------------



Mew: Frengers (2003)

Tidak ada cara yang lebih menyenangkan untuk menceburkan diri ke lautan prog rock selain memulainya dengan Frengers, album yang brilian karena berhasil mencampuradukkan musik yang ngepop dan komersil dengan struktur yang tidak mengikuti pakem umum: verse-chorus-verse, melainkan per part, seperti yang ada pada prog rock, khususnya "Am I Wry? No" dan "Comforting Sounds".

Merasa ini terlalu mudah? Lanjut.....!!

Saturday, December 13, 2008

Progressive Rock Level 2: Prog Student



Rush: Chronicles (2003)

Chronicles adalah album kompilasi yang terdiri dari dua CD.
CD Pertama merupakan kumpulan komposisi tahun-tahun awal karir Rush. CD kedua adalah kumpulan komposisi yang lebih populer dan easy listening, yang mengharumkan nama Rush ke seluruh dunia.
Album kompilasi ini merupakan pintu gerbang ke dunia prog rock yang jauh lebih rumit dan memusingkan sehingga merupakan materi wajib bagi calon-calon penikmat prog rock yang kupingnya masih belum terlatih.

--------------------------------------------------------------------------------------------



Yes: Fragile (1972)

Album keempat Yes ini berisi sembilan komposisi, lima di antaranya ditulis dan diaransemen oleh masing-masing anggota band, yang menunjukkan skill individual mereka yang di atas rata-rata dalam penguasaan instrumen masing-masing.
Keunikan di atas ditambah dengan hit single mereka yang termahsyur, Roundabout, menjadikan album ini sebagai salah satu rekaman prog rock
terbaik yang pernah dibuat.


Friday, December 12, 2008

Progressive Rock Level 3: Prog Knight



Pink Floyd: Meddle (1971)

Pusing dengan masalah pekerjaan, beban hidup yang terlampau berat, atau masalah percintaan yang tiada habisnya?

Siapkan:
1. Lintingan ganja ya
ng banyak.
2. Bir dingin
3. Kursi malas dari bambu
4. Ipod dengan earphone mahadahsyat
5. Hasil rip CD Meddle dalam format AAC 320 kbps


Gabungkan daftar di atas sambil duduk mendengar musik, menatap matahari terbenam, dilanjutkan dengan sesi menatap bintang-bintang di langit dengan iringan angin yang berhembus kencang di pinggir pantai.

Masalah selesai.
Untuk sementara.

--------------------------------------------------------------------------------------------



Genesis: Selling England by The Pound (1973)

Selling En
gland by The Pound adalah ibu dari seorang anak jenius bernama Firth of Fifth. Si anak jenius menunjukkan bakatnya di intro solo piano yang megah dan melegenda hingga sekarang.

Sang Ibu punya anak ketujuh, The Cinema Show, yang tak kalah jenius. Bedanya, sang anak menunjukkan bakat luarbiasa dalam menciptakan beat drum yang rapi, penuh improvisasi dan gayanya akan menjadi patron bagi para penggebuk drum rock di seluruh dunia.

Di antara kedelapan anaknya, mungkin yang bernama More Fool Me adalah yang paling unik, karena inilah bukti kalau sang anak, yang punya kemampuan ngedrum yang sadis, juga bisa bernyanyi dengan
sangat baik. Dia akan membangkang kepada orangtuanya kelak, dan akan menggiring Ayah mereka yang bernama Genesis keluar jalur symphonic prog ke musik pop. Scumbag Phil :D

--------------------------------------------------------------------------------------------



Imanissimo: Z's Diary (2004)

Apa yang terjadi kalau para personil Ozric Tentacles dilahirkan di Indonesia, masuk sekolah seni, gemar membuat komposisi super panjang, dan membuat sebuah concept album dengan tata suara yang berbanding terbalik dengan kualitas albumnya?

Hasilnya adalah Z's diary, concept album cerdas dari Imanissimo, sebuah album symphonic prog rock dengan pengaruh sound space rock yang sangat pekat.

Fakta bahwa album ini dibuat oleh musisi-musisi muda dalam negeri yang berbakat semakin mempertebal keyakinan saya akan regenerasi prog rock di scene lokal.

--------------------------------------------------------------------------------------------



The New Caledonia: Lotus (2007)

Orang-orang gila dari Australia yang bertanggung
jawab menciptakan ketidakseimbangan di dalam kosmos dengan mengawinpaksakan fusion, ambience, dan prog rock menjadi sebuah kekacauan yang mengagumkan di seluruh area galaksi bima sakti.

--------------------------------------------------------------------------------------------



Protest The Hero: Fortress (2008)

Tidak disarankan buat yang berpenyakit jantung, ibu-ibu hamil dan menyusui, orang-orang yang masih sayang gendang telinga, lulusan pesantren, dan penggemar Trio Macan.


Bagaimana, belum menyerah?
Yakin?

Thursday, December 11, 2008

Progressive Rock Level 4: Prog Master

Akhirnya......selamat datang di level pamungkas...




King Crimson: In The Court of the Crimson King (1969)

Segalanya bermuara dari sini. Album brilian yang merupakan "ground zero"-nya prog rock. Album seminal, cikal bakal sebuah genre yang jaya raya di tahun 70-an, walaupun sang pendiri sekaligus gitaris band, Robert Fripp, menolak kategorisasi tersebut.

Suka atau tidak, setuju apa tidak, Fripp tak kuasa membendung puji-pujian para dedengkot prog rock masa lalu dan sekarang yang menyebutkan In The Court of The Crimson King adalah pengaruh utama mereka dalam bermusik dan turut membentuk arah musikalitas mereka.

--------------------------------------------------------------------------------------------



Yes: Close To The Edge (1972)

Sebuah mahakarya. Album klasik yang abadi sepanjang masa. Close to The Edge adalah puncak musikalitas Yes yang mengarumkan nama
mereka selama tiga puluh tahun lebih, melewati batas-batas waktu hingga sekarang dan akan datang. Bagaikan Colossus di dunia persilatan prog rock: tinggi, kokoh, indah, dan abadi.

--------------------------------------------------------------------------------------------



Pink Floyd: Dark Side of The Moon (1973)

Magnum Opus dari Pink Floyd.
Dark Side of The Moon merupakan album terlama yang bercokol di Billboard's list of the top 200 best selling albums selama 14 tahun, paling lama dari rekaman manapun yang pernah dibuat sepanjang sejarah umat manusia. Apabila rekaman Dark Side of The Moon diluncurkan ke ruang angkasa dan ditemukan alien, mereka pasti mengira penciptanya adalah dewa, dan akan berbondong-bondong ke bumi untuk menyembah Waters, Mason, Gilmour, dan (alm.) Rick Wright.

--------------------------------------------------------------------------------------------



Guruh Gypsy: S/T (1976)

Ini adalah faktor utama rasa hormat saya yang mendalam kepada GSP, dalam kolaborasinya dengan Gypsy band, untuk melahirkan sebuah album prog rock asli Indonesia tanpa tanding di muka bumi pertiwi, yang memperkenalkan seorang legenda musik Indonesia sebagai vokalis utama: (Alm.) Chrisye.

Gabungkan seluruh album band-band sejuta kopi di Indonesia, maka mereka belum dapat mencapai setengah dari kualitas album ini: musikalitas, art direction, filosofi, penulisan lirik, kualitas serta totalitas musisinya.
Band-band tersebut hanya menang di satu sisi: Keuntungan komersial, sesuatu yang sangat jauh dari jangkauan Guruh Gypsy.


Monday, November 3, 2008

Young and Restless - S/T (2007)



Young and restless: Yang muda yang bergelora.

Ada sebuah pertanyaan yang terus berputar-putar di kepala saya ketika selesai mendengarkan debut album Young and Restless:
Apakah Karina Utomo -sang vokalis- punya pita suara ekstra yang bisa diganti-ganti?
Saya membayangkan betapa tersiksa sang pita suara bekerja terus-menerus didera jobdesk yang cukup berat dan mengerikan: Melayani permintaan pemiliknya bernyanyi, setengah berteriak, menjerit, memekik tanpa belas kasihan.

Young and Restless adalah sebuah parade musik dengan kata kunci: Noise.
Saya rasa Karina adalah semacam hibrida kekuatan Karen O dari YYY dengan keliaran Jemima Pearl dari Be Your Own Pet. Ketiga wanita tersebut punya persamaan apabila dilihat dari paras mereka: It's all deceptive facade. Mereka dapat melibas vokalis band-band emo yang bertato dan bermuka sangar penuh tindikan dengan sekali gebrak.

Ah, cukuplah bercerita tentang Karina yang cantik dan menarik. Young and Restless adalah contoh membuat gado-gado dengan ramuan yang baik dan benar. Anda semua sudah ketahui bahwa Karina dan saudara lelakinya Nugroho -sang drummer- bergabung bersama dua bule Australia membentuk Young and Restless. Mereka sangat menyatu dan solid, tidak seperti proyek "lucu-lucuan" Ahmad Dhani yang (ingin) merayakan "supremasi" atas kulit putih pada The Rock. "The Batu". Batu nisan barangkali, seperti penanda karir musik mereka.

Album ini berisi tipikal kemarahan, protes dan gejolak khas anak muda. Kalau semua keresahan dan kemarahan digarap serius, hasilnya seperti album ini: Cantik dan beringas, seperti vokalisnya.



Pemuda Harapan Bangsa - Modal Dengkul (2007)




Bagaimana jadinya apabila sebuah bangsa, terutama bangsa Indonesia, bertumpu dan berharap kepada kelompok pemuda yang hanya bermodal dengkul?

Pemuda Harapan Bangsa (PHB) percaya hal itu, setidaknya mereka punya cita-cita sebagai "tumpuan" harapan bangsa untuk mengocok perut rakyat dan membuat mereka tersenyum, walaupun dengan alat musik "seadanya", tampang sekadarnya, lirik seenaknya, dan kualitas vokal yang apa adanya.

PHB pernah melahirkan sebuah mahakarya berupa musik bernafaskan waria Taman Lawang seperti "Baso Mas Parto" di album Orkesnisasi dan sekarang di album Modal Dengkul, hadir sebuah track cerdas: "Kelapa Sawit" yang sempurna secara ide, eksekusi, dan improvisasi.

Di "Khayalan", lahir sebuah konsep baru di dalam musik Indonesia, dimana featuring artist tidak menyanyi, melainkan hanya ngemeng gak jelas di telepon (dalam bahasa Sunda pula).
Saya sering mengulang track ini di bagian awal dan akhir hanya ingin mendengarkan percakapan mereka yang amburadul sambil senyum-senyum sendiri.


Keseriusan PHB dalam bermusik semakin solid ketika menciptakan sebuah lagu yang punya judul seperti kumpulan bumper stiker metromini dan mikrolet: "Doa ibu tersayang kepada anak tercinta semoga selamat sampai tujuan."


Artwork album juga tidak luput dari keseriusan tingkat tinggi personil PHB. Upaya untuk mencetak nama-nama donatur dan jumlah sumbangan buat album ini merupakan langkah jenius yang belum terpikirkan band-band lain di luar sana.


Saya kira PHB akan menurunkan tensi ketidakwarasan mereka di akhir album, ternyata yang saya dapat adalah "The Rain", sebuah karnaval multikulutral pengocok perut dengan bahasa Inggris amburadul dalam atmosfir tembang Sunda-campursari dalam irama tradisional-modern yang absurd.


Gugun and The Bluesbug - Turn It On (2007)




J: "Hank, do you like blues?"

H:
"Yes, one of my favourites."

J: "Have you ever heard an Indonesian playing blues?"

H: "Nope."

J: "You should listen this, it's awesome." (Menyetel "Holding On" di iTunes)

H: "Hmm...the guitarwork sounds like Jimmy Hendrix but with his own personal touch. Also the pronunciation is good, I like it. I did not know that there's a good blues singer-guitarist here, and this one's promising."

J: "Told you, it's awesome."

H: "Yeah, but it's a silly name isn't it? Bluesbug, hahahahaha.... and the artowork is just like those back in the 60s. Anyway, can i borrow the CD after you put it in your iPod?"

J:
"Sure."

Hank adalah guru bahasa Inggris yang datang ke kantor setiap Jumat. Setelah beberapa lama, saya menemukan fakta bahwa si bule punya wawasan tentang musik yang cukup luas dan selera musik yang tidak jauh berbeda dengan saya.

Anyway....saya sempat menyesal tidak menghadiri peluncuran album Gugun and The Bluesbug kira-kira setahun lalu. Ketika membaca e-mail terusan dari seorang teman yang berisi jadwal acara launching album Gugun and The Bluesbug, saya bertanya-tanya band apakah ini? Dilihat dari sampulnya, timbul asumsi bahwa ini hanyalah band-band indie yang mencoba eksis dari pensi-pensi SMA. Saya tak berminat, bahkan tidak terkesan dengan kata 'blues' di nama band tersebut dan tidak googling terlebih dulu.

Asumsi yang terbukti 100% salah ketika saya membaca review di RSI dan kemudian membeli album "Turn it On" dari Gugun and The Bluesbug. Sebuah adegan dari Lock, Stock, and Two Smoking Barrels menyindir asumsi tolol tersebut:

Soap: "And What did I say about assumption being a brother of all fuck-ups?"
Tom: " It's the mother of all fuck-ups, stupid."
Soap: "Well, brother, mother, and any other sucker. It don't make any difference!"

1-0, Satu buat Gugun and The Bluesbug, dan 0 buat asumsi tolol saya.

Mungkin tidak banyak musisi lokal yang memainkan musik ciptaan sendiri bernafaskan blues-based rock dengan penuh penghayatan seperti Gugun. Saya kira mahluk-mahluk yang memainkan musik jenis ini sudah punah. Tersingkir ke bar-bar gelap di pinggiran kota, di panggung kayu yang usang dan disorot lampu redup dan bermandikan cahaya lampu neon yang berkedip-kedip. Ditonton oleh orang-orang tua dengan rokok kretek di mulut yang ingin bernostalgia mengenang masa muda. Ternyata tidak.

"Turn it on" muncul dengan benang merah blues yang terang, bergairah, dan dinamis sehingga bisa meliuk-liuk dengan cantik di track funk "Funky Pesta" dan galak di "Woman", juga bisa lembut seperti sayap-sayap kecil malaikat di "Holding On."

Gugun and The Bluesbug membuat iPod Classic saya terisi lagi dengan bahan bakar tanpa timbal untuk kuping dan otak saya yang memang haus dan rakus asupan musik-musik yang bergizi, terutama blues.


Thursday, August 28, 2008

Battles - Mirrored (2007)




Alkisah....di zaman jutaan tahun mendatang....
Ketika umat manusia telah punah dan bumi diduduki oleh mesin-mesin imortal ciptaan manusia, yang dengan kecerdasan buatan, berevolusi dan membangun sebuah peradaban baru. Peradaban umat manusia telah lama terlupakan dan terkubur bersama puing-puing masa lalu.

Hingga datang suatu masa dimana para robot tidak sengaja menemukan peradaban manusia yang telah punah jutaan tahun lampau di kedalaman bumi. Di antara artefak-artefak itu mereka menemukan sesuatu yang sangat indah: musik.
Robot-robot tersebut mulai meneliti dan menganalisa "artefak suci" tersebut, sebuah mahakarya ciptaan umat manusia yang sangat berharga. Mereka mulai mencoba membuat musik dengan struktur dan komposisi yang mereka ciptakan sendiri, menyesuaikan musik tersebut dengan peradaban mesin yang sudah sedemikian maju. Hasilnya adalah sebuah "musik mesin" yang rumit, cepat, penuh perhitungan, dan cerdas.

Mereka mengungumkan penemuan ini kepada masyarakat robot dunia. Lagu-lagu ciptaan mereka bagai wabah yang mendominasi kehidupan dunia mesin. Otoritas Robot Dunia pun menganggap wabah ini sudah terjadi sedemikian cepat dan mengkhawatirkan sehingga dapat mengganggu stabilitas dan peradaban dunia mesin. Operasi penumpasan pun akan dilakukan. Musik harus segera lenyap dari permukaan dunia mesin. Kelompok pembela musik pun berontak, mereka tidak mau tunduk terhadap kekuasaan yang absolut, yang semena-mena.

Akhirnya terjadilah demonstrasi dan bentrokan terbesar sepanjang sejarah dunia mesin. Pemberontak dan pemegang kekuasaan bertempur habis-habisan. Walaupun pada akhirnya kalah, kaum pemberontak mengirim utusannya yang paling tangguh, Atlas, untuk menyelamatkan milk mereka yang paling berharga, musik ciptaan para robot, yang telah dibuat susah payah dan diolah dari artefak suci peninggalan umat manusia.

Atlas, dengan sisa tenaga, berhasil menyelamatkan musik ciptaan kaum robot tersebut melalui mesin waktu. Dia juga mengirim berbagai data mengenai pemberontakan para robot dan kisah hidupnya ke abad 21. Persembahan dari jutaan tahun mendatang itu lalu ditemukan oleh empat manusia cerdas yang dapat menyerap musik mesin yang rumit itu. Keempat orang tersebut menamkan band mereka: Battles,
yang terinspirasi dari pertempuran terakhir antara kaum mesin jutaan tahun ke depan.
Mereka mempelajari, mengaransemen ulang beberapa komposisi, dan membuat sebuah album.
Atlas, sebuah single andalan pilihan Battles, dipersembahkan kepada sang robot yang dengan sisa-sisa tenaganya, berhasil menyelamatkan musik robot tersebut ke tangan mereka, kembali ke tangan umat manusia.


Wednesday, August 27, 2008

Eddie Vedder - OST Into The Wild (2007)




Paman Eddie telah kembali!!

Soundtrack
ini merupakan hasil nepotisme bersama sang sobat karib, Sean Penn, menunjukkan bahwa legenda hidup Seattle Sound ini tidak butuh komposisi rumit dan distorsi. Cukup vokal, gumaman dan lengkingan khas yang membuat Paman Eddie tersohor di tahun 90-an hingga sekarang. Ditambah gitar akustik, slide guitar, banjo, dan komposisi yang sederhana namun bermakna.
Hasilnya luarbiasa...

Eddie Vedder back to basic,
Beautiful magic.

Into The Wild bukan soundtrack biasa yang asal mencomot lagu dari sana sini yang temanya dimirip-miripkan. Itu bukan soundtrack tulen namanya, itu kompilasi! Kompilasi bisa dibuat siapa saja, entah itu penulis blog musik yang sok tahu, pemain band amatiran, atau anak baru gede.
Soundtrack Into The Wild yang dibuat Paman Eddie adalah contoh bahwa tidak semua orang bisa membuat musik untuk mengiringi sebuah film dengan baik dan benar. Ini adalah soundtrack sekaligus concept album yang sempurna yang membuktikan kalau nama besar Eddie Vedder bukan pepesan kosong.


Saking menyatunya dengan film, saya berani menyatakan kalau soundtrack ini adalah setengah filmnya. Kehilangan musiknya sama seperti menonton film yang kena gunting sensor hingga setengah durasi total.


Soundtrack dibagi kepada fase-fase perjalanan Chris menuju Alaska, walaupun di filmnya track demi track tidak dimunculkan secara berurutan.

Kita akan tersenyum kecil ketika mendengar "Society". Betapa seorang Christopher McCandless membuat orang-orang di sekitarnya merasa kehilangan sosok yang begitu berbeda, yang menempuh perjalanannya dengan penuh dendam masa lalu dan amarah.

Sebuah unek-unek tentang keserakahan manusia dan konsumerisme. Sebuah curhatan sang pengembara pemberani yang menjelajah hingga ke ujung utara benua Amerika:


You think you have to want more
than you need
Till you have it all
you won't be free
Society, you're crazy breed

Hope you're not lonely without me


Ketika Chris menemukan jawaban atas kegelisahan dan pertanyaannya selama mengembara, lalu menjemput ajal dengan damai, ketika itulah "Big Hard Sun" dinyanyikan seperti soundtrack kematian yang membahana.
Menyiratkan sebuah makna mendalam bahwa orang-orang hebat harus melalui cobaan demi cobaan besar, yang membentuk hidup mereka.

There's a big
a big hard sun
Beaten on the big people
In the big hard world


Wednesday, May 21, 2008

Sunday at Twelve - Somewhere Between (2008)



Berdasarkan "wawancara" singkat di YM bersama pemain bas Sunday at Twelve, Bintang, ada dua alasan kenapa band ini dinamakan demikian, berikut kutipannya:


"Sebenarnya.. itu diambil dari kebiasaan kita yang sok sibuk bgt, dan baru bisa ketemu dan latian hari Minggu siang (bangunnya siang juga) hahahaa...
trus di filosofikan, kalo hari minggu kan adalah hari off seluruh dunia, bebas dari kerjaan.. dan waktunya tuk kumpul ama teman, keluarga dll, hang out dsb... disitulah musik kita ramu yang cozy dan enak tuk didenger bareng temen2 sore2..."

Untuk review album Sunday At Twelve, Somewhere Between, unsur nepotisme-nya terasa kental, because i know most of the guys and the bassist handed the album to me.

Mendengarkan Somewhere Between, bagi yang "tumbuh dewasa" di pertengahan hingga penghujung akhir 90-an, akan membawa kembali ingatan2 tentang sebuah masa dimana mereka pernah berambut gondrong tanggung belah tengah dan sedikit berminyak; memakai kemeja kotak-kotak agak kedombrangan di atas badan ceking, jins belel dan sneakers dekil; menonton serial Friends dengan antusias; dan menganggap Third Eye Blind dan Spin Doctors sebagai role model musik alternatif yang ngepop di tahun 90-an.

Di album perdana mereka ini, sangat mudah untuk menebak darimanakah Sunday at Twelve mendapat inspirasi dalam bermusik. Petunjuknya: dari sebuah band yang sukses besar setelah membuat soundtrack berjudul Iris untuk film yang berjudul City of Angels. Masih belum mengetahuinya? saya maklum, mungkin saja Anda kurang pergaulan atau tinggal di gua.
Berbicara soal kualitas rekaman Somewhere Between, maka kuping saya cukup puas mendengar 9 track dengan mixing yang lumayan rapi di album ini. Kerja yang bagus kawan-kawan!

Album Somewhere Between dari Sunday at Twelve sedikit mengobati kerinduan Anda yang sekarang mungkin sudah berumur pertengahan dua puluhan atau awal 30-an akan manisnya masa ketika ABG.
Buat yang masih lajang di umur tersebut, mungkin bisa dipakai sebagai lagu untuk mengusir kalimat-kalimat mengganggu dari orangtua dan sanak saudara yang terus memaksa Anda untuk cepat menikah dan punya anak, hahahaha...

Bagi adik-adik yang berumur awal 20-an atau yang masih belasan, beginilah warna musik di tahun 90-an.Era dimana sebuah band cukup melepas satu single yang meledak untuk meraih popularitas, dimasukkan ke dalam belasan lusin kompilasi yang juga sukses besar, dan band tersebut akan menghilang perlahan demi pasti. Mereka punya istilah untuk itu, One Hit Wonder.

Crash Test Dummies, 4-non blondes, Gin Blossoms, dan The Rembrandts adalah band-band dari era 90-an yang punya beberapa single sukses dan beberapa album, lalu cepat terlupakan untuk dibangkitkan dari kubur, di kemudian hari.
Mengingat nasib band-band tersebut, saya hanya bisa berharap Sunday at Twelve tidak menghilang terlalu cepat.

Buat yang berminat, dapat membeli di:
- Ak.'sa.ra
- We Are Music: Plaza Semanggi 3rd floor
- Hey Folks Distro: Jl. Bumi

Apabila Anda ingin mem-booking Sunday at Twelve di acara-acara pensi, pesta, event musik, dan lain-lain dapat menghubungi:
Winna (08161996886)
Aryo (08161670474)

Bintang...komisi promosi gue mana Tang?...Tang.....Taaaang...????

Monday, May 12, 2008

The Fashion - S/T (2008)



Buat Anda yang mendukung pemboikotan terhadap Denmark akibat pemuatan kartun Nabi Muhammad tempo lalu, lupakan saja untuk mendengar album The Fashion atau bahkan membaca review di blog sialan ini, karena The Fashion berasal dari negara "terkutuk" itu (yang kebetulan merupakan negara paling jujur alias paling bersih korupsi dari negara-negara yang mengutuknya, ironis kan?).


Apabila Anda, para kaum fundamentalis ekstrem, yang entah kenapa kebetulan terdampar dan membaca review di blog sekuler ini, perlu Anda pahami bahwa saya adalah seorang penggemar Mew, memuja Natalie Portman, mengagumi Sacha Baron Cohen, mendengarkan Matisyahu yang seorang Yahudi ortodoks dan menganggap The Matrix yang memasukkan nama Zion -ibukota terakhir manusia- sebagai film terfavorit sepanjang masa.


Apabila Anda, manusia-manusia agnostik pecinta dunia dan pecandu musik ngak-ngik-ngok, berpikiran pendek dan suka bersenang-senang, maka Anda sudah berada di blog yang tepat.

Bajingan-bajingan dari Denmark ini memang pintar membuat musik untuk menarik cewek-cewek seksi yang jaim untuk ikut berjoget dengan hot.
Berbicara genre disini sudah tidak relevan karena saya pun termasuk salah satu "kritikus" musik yang dibuat bingung dengan pesatnya perkembangan musik di abad 21.
Self-titled album dari The Fashion bisa masuk ke kategori rock, post-punk, disko atau hip-hop.
Sudahlah... mestinya genre musik dihapuskan saja daripada repot.

Kalau dideskripsikan lewat perbandingan, di pertengahan pertama album, mereka menggabungkan beat hip-hop ringan ala Gym Class Heroes serta elemen slow disco VHS or Beta ke dalam album potensial yang bakal jadi hit di tahun 2008 ini.
Pada pertengahan album terakhir, terasa aura Of Montreal dan bahkan di track terakhir, Vampires with Gold Teeth, melodi gitar ciri khas The Strokes terdengar berbarengan dengan pengaruh Bloc Party di beberapa bagian lagu, cerdas!

Akhirnya, saya menemukan lagi satu album yang bisa didengar sembari menyusuri Kalimalang dan Gatot Subroto di malam hari atau sebagai afternoon music. Cantik!

Monday, April 7, 2008

Efek Rumah Kaca - S/T (2007)



Kalau membahas Efek Rumah Kaca (ERK), saya teringat pembicaraan dengan Wahyu, vokalis MLV. Apa hubungannya? Begini, ketika membahas soal mixing, sang vokalis ingin sekali Vanco, yang menjadi audio engineer album Efek Rumah Kaca, mengurusi departemen sound album perdana MLV. Tetapi berhubung si audio engineer udah full-booked entah sampai kapan, niat MLV untuk memakai jasa Vanco diurungkan.
Saya tidak heran kenapa mereka sampai bela-belain berniat memakai Vanco sebagai audio engineer mereka, kualitas rekamannya yahud!

Efek Rumah Kaca merupakan salah satu dari rekaman Indonesia yang punya kualitas sound terbaik. Hal ini cukup jarang mengingat kebiasaan kuping lokal yang sudah cukup diberi musik dengan kualitas 128 kbps mp3 bajakan, sehingga dengan mixing seadanya dirasa cukup.
Hal ini dapat dimaklumi karena kualitas audio engineer yang bagus masih cukup langka.
Bagi band-band mapan, mixing dan mastering di luar negeri yang sudah terjamin kualitasnya tidak menjadi masalah, tapi buat band-band baru? Tidak jarang mereka mencoba mixing dan mastering sendiri karena keterbatasan sumber daya dan biaya walau hasilnya jauh dari memuaskan.


Anyway, di album ini, ERK turut bertanggungjawab menyebarkan virus galau (saya lebih suka menyebut musik ini kontemplatif) ke berbagai penjuru Indonesia. Untung saja sebagian besar tema lirik di album ini tidak membuat para pendengarnya jatuh lebih dalam ke situasi suicidal-depressive seperti yang jamak terjadi di genre ini, tetapi membuat kita lebih aware dengan isu-isu mutakhir di sekeliling kita.

Penulisan semua lirik dengan bahasa Indonesia menambah kecintaan saya terhadap band ini, mungkin di dalam beberapa track ada kalimat yang terdengar terlalu puitis atau sedikit janggal, tetapi hal tersebut bisa dimaafkan. Ini merupakan kemajuan buat musik Indonesia yang selalu menghadirkan alasan klise band-band yang berniat go international dengan menulis lirik bahasa Inggris agar bisa dimengerti orang-orang di belahan dunia lain, atau hanya karena malas belajar mengungkapkan perasaan lewat bahasa ibu kita (jumlah kosa kata bahasa Indonesia memang kalah jauh dari bahasa Inggris, tapi itu bukan alasan).

Apabila menyimak Rendra, GM, atau Pram, Anda pasti mengerti bahwa dengan segala keterbatasannya, bahasa kita sendiri bisa mencapai tingkatan artistik yang tinggi.


Tema lirik pada album Efek Rumah Kaca merentang mulai dari sindiran terhadap RUU anti pornografi di "Jalang", homoseksualitas di "Bukan Lawan Jenis", HAM pada track "Di Udara" yang didedikasikan kepada alm. Munir, kritik terhadap konsumerisme di "Belanja Terus Sampai Mati", sinisme terhadap kecenderungan musik pop Indonesia yang mendayu-dayu di "Cinta Melulu" dan tema lingkungan di "Efek Rumah Kaca".
Sisanya adalah self contemplating track dengan komposisi yang mencerminkan kematangan bermusik para personil ERK, range vokal Cholil yang bermain-main di ranah falsetto dilewati dengan mulus nyaris tanpa cacat.

Komposisi terbaik ERK menurut saya adalah "Insomnia" dan "Debu-Debu Berterbangan", komposisi favorit saya adalah "Desember", sedangkan penulisan lirik favorit saya adalah "Jatuh Cinta itu Biasa Saja" yang menggambarkan sebuah proses menjalin hubungan dengan logis dan sehat (kabarnya terinspirasi dari perjalanan cinta orangtua mereka sendiri yang langgeng).

Beginilah seharusnya sebuah rekaman musik dibuat: Komposisi dan aransemen yang matang, penguasaan instrumen dan vokal yang efektif, kualitas sound yang memanjakan indera pendengaran dan artwork yang representatif.

ERK, kalian layak mendapatkan pujian dari saya, orang yang paling pelit memuji untuk soal kualitas rekaman band lokal.


The Changcuters - Mencoba Sukses Kembali (2008)



Bayangkan sebuah band dengan tata bahasa supir jalur pantura, attitude serta skill dan aksi panggung rock n' roll eksplosif, pengucapan lirik dengan aksen bule kampung dan selera humor yang norak tetapi terdengar keren sekaligus menggelikan. Sudah dibayangkan? Nah...seperti itulah The Changcuters di debut album major label mereka di awal tahun ini, Mencoba Sukses Kembali.

Untuk sebuah band yang menamakan manajemen mereka dengan The Me Is 3 Management, saya pasti tidak akan menganggap mereka secara serius, KECUALI kalau sudah mendengar musiknya.

Sungguh susah menemukan band-band Indonesia saat ini dengan sebutan band rock tanpa berpikir lebih panjang. The Changcuters dengan segala attitude-nya yang overpede dan rada norak adalah salah satu band tersebut.


Saya memberi nilai tambah pada banci-banci tampil dari Bandung ini karena lirik-lirik mereka yang santai mengajak Anda agar selalu eksis dimanapun, kapanpun dan dalam kondisi apapun. Hidup cuma sekali kok dibikin terlalu serius, mungkin begitu di dalam pikiran mereka yang agak sedikit terganggu simpul-simpul syarafnya. Kenapa saya bilang terganggu? Yah, mungkin cuma sedikit band yang bisa mempertahankan kewarasannya dalam mengadaptasi gaya permainan khas garage rock, hard rock dan Blues ke dalam interpretasi mereka sendiri yang sudah rusak oleh kamus bahasa ngawur dari supir metromini dan truk sembako tanpa jatuh ke dalam kategori band lawak atau band badut-badutan.

Album ini dihiasi lirik dan semangat dangdut rock n' roll yang norak tetapi paten di "Racun Dunia"; tingkat pede kritis tak tertolong di "Pria Idaman Wanita"; berburu perawan pada akhir pekan di track "Gila-Gilaan";
lirik kampungan pol-polan di "I Love U Bibeh"; seperti belum puas juga, mereka memparodikan Benyamin S. dan Ida Royani tanpa ampun di "Dang Ding Dong" dengan ending tak terduga.

Akhirnya.... ada lagi band lokal yang layak saya review di blog yang sangat diskriminatif terhadap rekaman-rekaman dari Indonesia ini.


Sunday, March 16, 2008

Protest The Hero - Fortress (2008)



Saya tidak suka musik metal, hanya bikin sakit kepala dan menambah timbunan parasetamol di kotak obat. Isinya hanya geraman dan teriakan gak jelas dari seseorang yang menyembunyikan kekurangan teknik vokalnya, gitaris yang hanya memikirkan bagaimana membuat jari-jari menari dengan cepat diantar senar gitar dan melupakan komposisi. Basi!
Dobel pedal? Gak perlu!

Mubazir itu semua!


Tetapi ada sebuah balatentara setan dari neraka bernama Protest The Hero menghajar ketidaksukaan saya sampai ke sumsum tulang belakang dengan album Fortress, mereka tahu kelemahan saya! Syiiiittt...!!!
Dengan sempurna meramu keagresifan Refused; pattern metal klasik dengan dominasi dua gitar; lirik bertema fantasi; perubahan tempo dan beat yang cepat, ganas dan mengagumkan ala progressive rock; tidak ketinggalan mempersembahkan salah seorang vokalis dengan kualitas terbaik dan paling berbahaya di muka bumi yang bergerak dari lembut ke keras, dari lengkingan tertinggi seperti yang bisa dicapai vokalis Steelheart hingga ke growl paling jahat seperti suara anjing penghuni dasar neraka. Salah satu utusan setan ini bernyanyi sambil menjerit, menggeram dan entah apa lagi.. sadiss...sadisss. Musik sesat! Ampuni hambamu ini Tuhaaann!!!

Fortress adalah album yang tepat untuk melempar band-band metal palsu tak bertalenta dengan hanya bermodal growl dan tapping ke Laut Selatan, balapan di jalan raya sambil menantang lawan Anda dengan jari tengah, menjadi lelaki sejati, atau adu badan dan headbanging di mosh pit. Jikalau Anda adalah iblis dan setan, maka ini adalah soundtrack yang tepat untuk menghajar malaikat dan menjerumuskan umat manusia ke lubang neraka!


Sunday, February 10, 2008

Easy Star All-Stars - Dub Side of The Moon (2003)



Lima Puluh tahun lalu, banyak yang berkata bahwa trilogi LOTR tak mungkin dibuat versi layar lebar mengingat betapa luas imajinasi Tolkien dan cerita yang sangat kompleks dan mendalam. Ternyata dugaan mereka salah, LOTR benar-benar dibuat film walau lewat proses yang sangat panjang dan melelahkan.


Hal yang sama terjadi apabila ada orang iseng bertanya apakah Dark Side of The Moon bisa dibuat versi reggae?
Yang berakal sehat tentulah menjawab: "Tidak mungkin!!!"
Sayangnya mereka belum bertemu dengan Easy Star All-Stars, kumpulan musisi reggae sableng yang cukup gila menjawab tantangan tersebut dengan menghadirkan Dub Side of The Moon!

Sebuah dekonstruksi musikal menakjubkan terhadap salah satu rekaman terpenting, terbaik dan paling berpengaruh sepanjang sejarah umat manusia -Dark side of The Moon dari Pink Floyd.

Para personil Pink Floyd tentu tidak sembarangan membiarkan mahakarya mereka 'diobrak-abrik' oleh gerombolan merah-kuning-hijau ini. Keputusan mereka tidaklah meleset, Dub side of the Moon adalah sebuah interpretasi jenius ke dalam tatanan musik reggae, genre yang sama sekali berbeda dari apa yang telah mereka hasilkan tiga dekade lalu, psychedelic rock.

Sangat menarik mendengar hasil konstruksi ulang dari Time dimana Easy Star All-Stars bermain dengan bunyi jam pelatuk, terompet hingga suara kokok ayam hingga membuat saya tertawa sejenak. Mereka melanjutkan naluri bermain dan selera humor yang bagus di Money. Suara dentingan koin dan cash register diganti dengan suara pemantik api, bunyi gelembung dan orang terbatuk-batuk. Hayooo...apakah itu?

Organ dan saksofon masih setia digunakan di Us and Them, Time, juga aksi akrobatik synth di Any Colour You Like sehingga kesan tahun 70-an disaat lagu aslinya diciptakan tidak hilang.
Yang kurang terasa pas hanyalah Eclipse, track favorit saya dimana setiap kali mendengarkan versi aslinya bulu kuduk pasti merinding. Dalam Dub Side of The Moon tidak terjadi dekonstuksi yang maksimal pada Eclipse karena terlalu patuh pada pattern lagu aslinya sehingga hasilnya tidak optimal. Mungkin karena track ini begitu susah dibuat ulang karena aura mistisnya yang terlalu pekat.
Dub Side of The Moon mempunyai 'bonus' berupa versi alternatif dari beberapa track di album ini: Time, Great Dub In The Sky dan Any Dub You Like.


Apabila Dark Side of The Moon ketika jaman ayah dan kakek kita dulu cocok didengarkan dan dinikmati ketika sedang memakai LSD dan menghirup heroin, maka menikmati Dub Side of The Moon cukuplah dengan selinting ganja dan berpura-pura menjadi seorang rasta.

Ya....maaaann.....


Saturday, February 9, 2008

Clint Mansell with The Kronos Quartet and Mogwai - OST The Fountain (2006)



Clint Mansell menambah deretan komponis favorit saya khusus untuk music score sebuah film. Thomas Newman masih tetap nomor satu dengan karya-karyanya di Shawshank Redemption, Road to Perdition, A Series of Unfortunate Events dan American Beauty.

Dari titelnya saja saya sudah bisa menerka kekuatan apa yang harus mereka punya jika ingin bertahan hidup dan mencari makan di jagat perfilman Hollywood: Kekuatan sebuah komposisi.
Orang-orang seperti Mansell harus melupakan bahkan kalau perlu tidak memakai sound effect yang terlalu hebat. Semua itu kosmetik belaka, hanya untuk pemula.

Mansell menggabungkan The Kronos Quartet dengan salah satu band pionir post-rock, Mogwai, untuk pengerjaan soundtrack film The Fountain ini. Komposisi yang kuat, orkestra campur sound gitar, piano dan drum dari band yang bertanggungjawab terhadap sound post-rock jaman sekarang ini mengasilkan soundtrack yang mahadahsyat. Canggih!

Teramat panjang apabila saya menjelaskan track demi track. Agar lebih jelas penilaian saya tentang album ini maka saya menggambarkan Clint Mansell telah berhasil melewati apa yang saya sebut 'tahapan tertinggi' sebuah komposisi musik, tahap dimana musik memiliki unsur
mistis: Hadirnya sebuah aura misterius pada sebuah komposisi yang membuat kita seperti menerobos kabut putih yang tebal tanpa tahu ada apa dibaliknya.

Di dalam musik populer, hanya sedikit sekali yang mencapai tahap puncak dikarenakan memang audience-nya tidak terlalu membutuhkan atau si pencipta lagu belum memiliki intuisi yang memadai.
Soundtrack The Fountain ini dengan mudah mencapai tahap mistis yang transendental. Saya bahkan tidak perlu menonton filmnya untuk mendapatkan situasi, atmosfir dan penghayatan yang diinginkan sang pembuat film. Hanya dengan mendengarkan sepuluh komposisi gawat dari Clint Mansell ini sudah cukup.