Sunday, March 25, 2007

The Pipettes: We Are The Pipettes (2006)



The Pipettes membuat sebuah formulasi musik kurang lebih sama dengan yang dipopulerkan Ramones tiga dekade lalu: tanpa basa-basi, kurang dari tiga menit, dan efektif. Ucapan "1-2-3 let's go!" di track pembuka mengingatkan gue akan sepenggal trademark dari Ramones. Sebuah kebetulan? Cuman bedanya Dee-Dee Ramone berhitung sampe 4.

Ramuan "punk" tiga cewek indie pop berpenampilan ala Twiggy dengan sack dress bermotif polkadot seperti yang gue lihat dari majalah-majalah fashion nyokap gue.
Musik yang mereka bawain berkiblat kepada pop 60-an --The Golden Oldies: harmonisasi vokal, string arrangement, dan energik. Tapi tentu saja rasa pop 60-an ini jauh berbeda dengan apa yang kita dengar empat dekade lalu. Soundnya jauh lebih modern. Walaupun band ini aslinya tujuh orang beserta band pengiring dengan sisa personil cowok --The Cassettes-- tapi yang lebih ditonjolkan adalah ketiga frontwomennya:
Becki yang berpenampilan nerd-sexylook, Gwenno the bombastic blonde, dan Rose the adorable brunette.

Biasanya gue gak begitu suka kalo ada grup vokal cewek karena kebanyakan cuma fokus di tampang. Tapi The Pipettes adalah pengecualian, mereka sangat komplit dari segi kualitas musik dan penampilan, memuaskan mata dan telinga. Mungkin ini adalah "penebusan dosa" buat Inggris setelah melahirkan era dekaden buat girl band dengan pemunculan Spice Girls.
The Pipettes berbeda karena musiknya cerdas dan cukup komersil tanpa jatuh jadi sebuah musik pop yang predictable dan kacangan.
Mereka bernyanyi dengan logat Inggris kental dan lirik-lirik nakal menyentil seperti di We Are the Pipettes:

We are the Pipettes
And we've got no regrets
If you haven't noticed yet
We're the prettiest girls you've ever met
We are the Pipettes
We will drop you in our nets
When you're crying in your bed
You'll hope we haven't finished with you yet

Secara overall track-track di album ini gak ada yang mengecewakan, bahkan ada beberapa yang menonjol dari lainnya seperti Dirty Mind yang jadi pengenal gue dengan The Pipettes lewat video klip yang gue download dari internet.
Dirty Mind adalah salah satu track The Pipettes yang sedikit lebih "modern". Becki, Gwenno, dan Rose bernyanyi dengan genit tentang cowok keren yang terlihat normal tapi punya fantasi liar.

It Hurts to See You Dance So Well mengingatkan gue akan salah satu band tahun 90-an favorit gue: Swing Out Sisters. Entah dari cara mereka bernyanyi atau dari lagu itu sendiri. Ada juga ABC yang bercerita tentang rasa penasaran terhadap cowok kutu buku:

He knows all about the movements of the planets
But he don't know how to move me
He knows about the sonic spectrum damnit
But he don't know if it's groovy

Gak lupa The Pipettes menyelipkan sebuah rest track bertempo lambat di pertengahan album, A Winters Sky. Cukup menyenangkan, gak monoton.
Track yang kental nuansa 60-an di antaranya adalah Why Did You Stay, Pull Shapes, Judy, Your Kisses Are Wasted on Me, yang paling "parah" yaitu Because It's Not Love (But It's Still A Feeling), dan satu dari dua track paling favorit gue di album ini: I Love You. Track ini punya reffrain yang sangat lovable, lirik yang sederhana tapi manis, dan selera humor yang bagus:

I've seen you try to laugh at all of my bad jokes
And I’ve cooked you seven meals six of them one on which you've choked
But it has taken me a while
To get used to this new feeling
When I woke up with a smile
Oh, I nearly started screaming

Kekaguman gue akan The Pipettes semakin bertambah setelah menyimak track favorit kedua gue di album ini, Sex, memuat harmonisasi vokal The Pipettes paling maksimal dengan durasinya yang begitu singkat (2:39 menit) tapi sangat efektif. Bercerita tentang para pria yang pikirannya selalu penuh seks, seks, dan seks:

He said we could talk about gossip we could talk about lies
He said we could talk about rumours we could do whatever i like
Then he said let's stop all the talking why not try something new
Because there's no need for any talking in what we're about to do....

Sangat catchy, terutama di bagian reff "rest your pretty head, you pretty head" dengan backing vokal riang.....
Bisa-bisa gue joget seperti John Travolta dan Uma Thurman di film Pulp Fiction.

We Are the Pipettes adalah sebuah contoh album girly penuh bobot tanpa terjebak kepada tipikal melankolis seperti Jessica Simpson, Mandy Moore; tipikal bitchy seperti Pink, Britney Spears, Lindsay Lohan dan Christina versi stripped; atau tipikal sok ngepunk seperti Ashlee Simpson dan Avril Lavigne. The Pipettes jauh lebih cerdas dengan melibas semua penyanyi cewek itu rata dengan tanah.

"They are Brits, they are good, they are smart, and they are The Pipettes!"

Sunday, March 18, 2007

Souls Vibrating In The Universe: The Inevitable Sadness EP (2004)



Disebut-sebut sebagai "One of The World's Greatest Unknown Band", Souls Vibrating in the Universe adalah band yang tergolong minim publikasi.
Info yang gue dapat cuma dari beberapa website yang bisa diitung dengan jari, profil myspace mereka yang gak menggembirakan beserta official website yang udah expired (well...lengkap sudah!). Rekaman musik mereka juga termasuk dalam kategori susah ditemukan apalagi The Inevitable Sadness. Walaupun rekaman ini udah cukup lawas, tapi menurut gue band ini punya potensi untuk menjadi besar sehingga review gue masih cukup relevan karena mereka kayaknya gak ngedapat penghargaan dan perhatian yang cukup atas karya mereka.

Souls Vibrating In The Universe membuat sesuatu yang berbeda dari cara penulisan lagu post-rock konvensional walaupun konotasi konvensional adalah sesuatu yang gak dikenal di scene musik ini. Post-rock termasuk genre musik eksperimental yang paling gampang dicerna sehingga mengeksplor sound band-band post-rock adalah sebuah tur sound-surfing yang paling menyenangkan.
Ciri khas elemen post-rock yang berprogresi lambat, juga tekstur musik yang tebal dan sound layer yang bertubi-tubi tetap dipertahankan, akan tetapi flow yang dinamis dari track-track yang diciptain Souls Vibrating In The Universe membuatnya gak terlalu sesurealis Sigur Rós dan gak terlalu cold and dreamy seperti Explosions In The Sky. Souls Vibrating In The Universe lebih cenderung kepada space-psychedelic sound seperti Close Encounters-nya Mogwai.

Di Inevitable Sadness, Souls Vibrating In The Universe membuat ciri khasnya sendiri yang gak lazim di dunia post-rock, yaitu porsi beat drum bergantian dengan gitar mengambil alih komando penciptaan sebuah mood pada musik mereka. Bahkan pada beberapa track, penekanan pada beat drum dilakukan untuk membuka atau menutup beberapa part di satu track.

Track pertama, Mono, dibuka dengan hentakan bass drum yang lembut dan ini adalah sebuah track yang minimalis untuk ukuran post-rock. Tapi justru keindahan musiknya gak diukur dari seberapa ambience atau sound layer yang dihasilkan, tapi lebih kepada musik itu sendiri, lebih kepada atmosfir yang dihadirkan. Untuk hal ini, Souls Vibrating In The Universe gue nilai sangat berhasil dengan segala "keterbatasan" instrumennya.

Ada satu hal yang berbeda selain ciri khas gak lazim Souls Vibrating In The Universe yang gue sebut di atas, yaitu memasukkan growl yang biasa dipakai di musik-musik hardcore dan metal seperti di track pertama dan ketiga. Agak gak lazim untuk sebuah band yang mengedepankan space sound, tapi anehnya nyambung sama mood yang diciptain perlahan-lahan sehingga gue gak kaget.
Pada track kedua, Awaré, teknik growl gak dipake. Penekanan lebih ke olah vokal normal khas post-rock yang depresif-introspektif juga beat drum yang sedikit lebih dominan. Ini merupakan salah satu daya tarik musik Souls Vibrating In The Universe dan mereka juga memberi pelajaran yang baik bagaimana mengaransemen musik secara cerdas dan efektif.

Setelah mendengarkan dengan cukup teliti, gue juga menemukan satu fakta menarik kalo mereka gak banyak nyiptain ambience sound dengan teknologi digital masa kini seperti yang udah lazim dilakukan band-band di genre ini.
Dengan instrumen yang udah memenuhi standar minimal sebuah band --gitar, bas, drum dan vokal--, mereka bisa membuat atmosfir space sound yang pekat dan gak jarang menjadi teatrikal dan megah seperti di No, sebuah track yang memprovokasi imajinasi gue secara maksimal.
Gue ngebayangin robot-robot segede gundam bertarung kolosal ala Braveheart atau Lord of The Rings di luar angkasa, penuh ledakan, pecahan logam yang tersulut api, dan banyak darah....sadis!

Musik Souls Vibrating In The Universe pada The inevitable Sadness ini cocok buat gue yang terlalu males buat ngedengerin Sigur Rós dan terlalu cemen buat dengerin musik metal.
Highly recommended!!



Sunday, March 11, 2007

Beirut - Pompeii EP (2007)



Satu lagi karya dari si anak ajaib, Zach Condon, seorang indie darling muda berbakat. Kali ini Zach melahirkan EP Pompeii yang dibuat sebelum debut album Gulag Orkestar. Track-track yang ada sangat berbeda baik dari musik, pemilihan instrumen maupun aransemen. Satu yang tidak berubah yaitu cara bernyanyi Zach yang terdengar 10 tahun lebih tua. Di Pompeii, Zach lebih banyak mengeksplorasi melodi dengan sentuhan elektronik dan tetap setia menggunakan tempo lambat.

Fountains and Tramways dibuka oleh synth, piano dan langsung menyerang dengan musik yang terdengar akrab tanpa kehilangan aura suram yang biasa diciptakan Zach. Track ini seperti gabungan antara slow pop cerdas dengan unsur jazz dosis ringan. Kalau di Gulag Orkestrar, Zach lebih memilih ukulele sebagai instrumen untuk menghasilkan sound dominan, di Pompeii Zach lebih memilih sound piano dengan porsi reverb cukup besar sehingga otomatis mengedepankan sound piano itu sendiri.

Napoleon on the Bellerophon adalah track favorit saya yang merupakan bukti kepiawaian Zach dalam mengaransemen sebuah track cerdas dengan menggabungkan unsur synth-pop dengan "lagu pemakaman" ala Zach. Vokal yang berlapis-lapis dan sahut menyahut seperti sering digunakan di Gulag Orkestar juga diterapkan disini.

Di Pompeii, Zach merangkum ambience dan nuansa pada post-rock, sentuhan jazz ringan dan sound elektronik synth-pop, walaupun tidak terlalu dominan seperti di Scenic World, tapi tetap memberikan aksen manis.


Wednesday, March 7, 2007

Beirut - Gulag Orkestar (2006)



Beirut sebagai sebuah one-man band dari Zach Condon mencoba melawan arus tren musik mainstream bahkan indie sekalipun. Tidak ada yang berani bermain di wilayah ini: Ibarat musik "pemakaman" di musim dingin diiringi nyanyian Zach, yang baru berumur 20 tahun, seperti orang yang tengah berduka dengan nada suara penuh dan gelap.

Gulag Orkestar adalah album dengan musik folk plus orkes khas Balkan yang sangat tebal dan pekat. Unsur alat musik tiup (brass) cukup dominan dan sebagian besar track di album ini tanpa lirik. Cara bernyanyi Zach mirip cara bernyanyi vokalis band-band post-rock yang bernyanyi seperti mendengung/menggumam (droning/crooning).
Banyaknya instrumen membuat musik di album ini punya banyak sekali sound layer yang membuat satu harmonisasi khas dan unik.
Di Gulag Orkestar tidak ada satupun suara gitar, alat petik yang dominan justru digantikan oleh "gitar" empat senar mungil yang kita kenal dengan nama ukulele dan sedikit tambahan mandolin.
Sound perkusi yang membuat pola repetitif justru tidak ngebosenin karena jumlah perkusi disini cukup maksimal dari segi variasi sound walaupun gak sebanyak alat musik tiup.
Yang menjadi pertanyaan saya yaitu apakah musik-musik di Gulag Orkestar bakal sebagus ini kalau dimainkan secara live? Entahlah.

Gulag Orkestar sebagai track pembuka album ini cukup berhasil mengemban suasana yang timbul akibat namanya --Gulag, sebuah metafor lewat musik akan atmosfir kamp konsentrasi terbesar di Rusia ditulis oleh seseorang yang pernah lolos dari malaikat pencabut nyawa di kamp maut tersebut --Aleksandr I. Solzhenitsyn yang di kemudian hari mendapat nobel atas hasil karyanya.

Brandenburg sedikit bernuansa riang seperti menyaksikan tarian perayaan di padang savana. Suara mandolin yang ringan, cepat, dan lincah di intro diiringi sound ukulele yang sedikit berat dan pendek hingga akhir.

Yang menarik selain track super-murung Prenzlauerberg, yaitu Mount Wroclai yang punya sound dominan akordion ditimpali vokal berlapis-lapis Zach.

Postcards from Italy sebenernya sedikit lebih "cerah" tapi cara bernyanyi Zach yang seperti orang meratap di pemakaman tetap ngebuat track ini berada di jalur "benar" --jalur kematian :)

Intro Rhineland akan terdengar sedikit mirip lagu tradisional Anglo-saxon (old English) kalau didengar tanpa adanya unsur brass. Ketukan dan suara perkusi yang muncul sangat mirip dengan tipikal lagu tradisional para leluhur bangsa Inggris itu. Bakal tambah mirip kalo Zach masukin mandolin, bukannya ukulele.

Bratislava yang nyelip di track kedelapan adalah sebuah fanfare dengan iringan marching band seperti sebuah parade pasukan perang kerajaan.

The Canals of Our City adalah track minimalis yang membuktikan kalo ukulele dengan paduan vokal pas bisa memberikan sebuah nuansa akustik mengharu biru.

Yang agak sedikit beda adalah Scenic World dan track penutup After The Curtain dengan sound synth yang manis. Gabungan sempurna antara musik folk jadul Balkan dengan citarasa musik elektronik modern.

Musik begini paling enak didengar ketika musim angin kencang dan hujan, atau kalau lagi berlibur ke tepian Laut Hitam dan Mediterania sembari singgah di Kroasia, Rumania, atau Albania.